16 November 2008

A way of life: DRESSING

Ada satu hal yang membuat gw merasa diri gw aneh – hanya karena pendapat gw berbeda dengan orang-orang lain. Dalam salah satu mata kuliah, kami diberi tugas untuk menciptakan sebuah kampanye. Pertama, kami mengambil tema lalu mencari masalah dan memberikan solusinya. Tema kampanye dibagi ke dalam empat kelompok: kesenian, kebudayaan, lingkungan, dan politik.

Salah satu teman mendapatkan kesempatan untuk membuat kampanye bertemakan budaya. Ia, dan pasangannya (tugas ini dilakukan per kelompok sebanyak dua orang dalam setiap kelompok) memilih untuk mengangkat batik ke dalam permasalahan. Setelah berbagai analisa yang mereka lakukan – mereka membatasi permasalahan mereka untuk fokus kepada penggunaan motif-motif agung batik yang digunakan di bagian bawah tubuh. Sebenarnya hal ini merujuk kepada produk Adidas, iya – sepatu, yang menggunakan beberapa motif batik keagungan Indonesia sebagai cover sepatunya. Plus motif tersebut ditindih logo Adidas yang berupa tiga garis, yang terbuat dari material kulit.

Inilah permasalahannya. Mereka menganggap penggunaan motif-motif keagungan di bagian kaki (yang mana merupakan bagian terendah dari tubuh) adalah pelecehan terhadap nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia. Belum lagi, salah satu motif yang digunakan adalah motif Garuda, di mana Garuda adalah lambang Negara Indonesia. Intinya aplikasi motif-motif batik keagungan pada sepatu Adidas merendahkan nilai budaya bangsa kita.

Mungkin gw memang aneh, atau otak gw udah kebalik tapi menurut gw hal tersebut bukanlah sebuah masalah besar. Ngga apa-apa. Kenapa kalo ada sepatu berwarna merah putih ngga dibilang merendahkan nilai kedaulatan Bangsa Indonesia? Sama saja kan, dua-duanya di kaki. Mungkin kalau merah-putih ngga terlalu kelihatan sebagai BENDERA, karena hanya warna. Bukannya, justru dengan mengaplikasikan motif batik (entah keagungan atau tidak) di sepatu akan membuat batik semakin go public?

Sekarang, prestise seseorang terutama dinilai oleh gaya hidup. Kenapa? Ya, gampangnya karena gaya hidup menunjukkan bagaimana orang tersebut menghabiskan uangnya dan seberapa banyak uang yang dia habiskan demi gaya hidup. Yvess Saint Lauren bilang: “In the past people were born royal. Nowadays royalty comes from what you do.” Mode adalah salah satu bagian dari gaya hidup – keduanya tidak terpisahkan. Mode menunjukkan prestise dan kedudukan seseorang di dalam masyarakat. Semakin tinggi kedudukannya, semakin besar pula pengaruhnya.

Clothes make the man. Naked people have little or no influence on society. (Mark Twain)

Ketika pertama kali bertemu dengan seseorang, kesan pertama kita menentukan kedudukannya di dalam masyarakat pada benak kita. Biasanya, beberapa ‘patokan’ untuk melihat status seseorang, ketika pertama kali bertemu adalah: tas, sepatu, jam tangan, luaran, kacamata, dan aksesoris lainnya (plus penampilan tubuh – high or low maintanace). Gw lagi ngomongin yang nempel di badan, lho – kalo kendaraan mah belum tentu bisa dilihat pas pertama kali ketemu. Biasanya, kita akan mampu membedakan, orang yang menggunakan kacamata merek A berasal dari kelompok apa, yang menggunakan kacamata merek B berasal dari kelompok apa, dan orang yang menggunakan kacamata palsuan merek A berasal dari kelompok apa.

Kenapa ngga baju yang jadi patokannya? Hm, mungkin karena baju lebih dinamis daripada sepatu, tas, jam tangan, luaran, kacamata, dan aksesoris. Maksudnya, model baju lebih mudah berganti dan material yang digunakan pun bisa lebih variatif. Nah… Kalau sepatu, dkk. kan cenderung lama untuk berubah bentuk, dan material yang digunakan pun tidak sevariatif baju. Kalau sepatu yang mahal, kita udah bisa tebak – pasti dari real leather, at least. Lagipula, detail pada sepatu, dkk. lebih rumit. Hold on, I’m not talking about haute couture – tapi pakaian sehari-hari. Kita pasti bisa membedakan sepatu yang lebih mahal melalui jahitannya, benang yang digunakan, dan kerapihannya. Ini sih analisa gw aja, hahahaha… Jadi sepatu, dkk. adalah simbol prestise seseorang. Kira-kira begitu.

Kalau motif-motif keagungan tersebut diletakkan pada sepatu, yang merupakan salah satu alat ukur prestise seseorang – apa masalahnya? Karena brand sepatu yang mengaplikasikannya pun Adidas, which is a brand that just can be afford by several people from particular society class. Iya, mungkin sang desainer hanya meletakkan motif-motif tersebut dalam rangka melengkapi satu set desain edisi batik tersebut. Ada topi, jaket, dan sepatu. Lah – semuanya sama-sama aplikasi kan? Semuanya sama-sama aplikasi pada produk komoditi budaya populer. Nilainya sama saja kalau menurut gw. Nilai aplikasinya bukan ada di kepala, di badan, atau di kaki – tapi pada produk komoditi budaya tersebut.

Kedua, kaki bukan bagian rendah menurut gw. Kaki adalah bagian tubuh yang membantu kita berpijak. Pijakan itu butuh platform, jadi kaki adalah platform-nya tubuh kita. Bahkan kepala pun, di mana ada otak – ngga bisa BERDIRI TEGAK kalau si orang yang punya kepala ngga punya kaki. Kaki adalah dasar. Kaki pun yang membawa kita melangkah mengikuti kata hati kita. Kaki adalah bagian yang tidak kalah penting dibandingkan kepala. Waktu seseorang berusaha menguasai sesuatu, kaki adalah bagian tubuh yang BIASA digunakan. Contoh: ketika sampai di Indonesia, para penjajah pasti menginjakkan kakinya duluan di Indonesia bukan kepalanya. Makanya ada peribahasa ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’, Kaki dulu kan? Bukan langit dijunjung dulu baru bumi dipijak. Ketika kita Cristopher Columbus sampai ke Amerika pun dia menginjakkan kakinya dulu, dan kemudian berita bahwa Amerika adalah hasil temuannya pun mengikuti. Intinya, kaki itu melambangkan kekuasaan dan dasar dalam hidup seorang manusia.

Jadi, yaitu – masalahnya bukan di bagian tubuh yang mana motif-motif tersebut digunakan, tapi sebagai apa. Lebih baik, menerangkan kepada masyarakat – dimulai dari masyarakat Indonesia dulu – tentang nilai yang terkandung pada motif batik. Lagipula, Adidas menggunakan motif tersebut dalam konteks MODE. Tren sepatu itu sih bisa pudar, tapi nilainya yang ngga bisa pudar. Jadi lebih baik concern ke sosialisasi nilainya, bukan ke aplikasi batiknya. Lagian, aplikasi batik pada Adidas membuktikan bahwa komoditi budaya populer pun mebutuhkan budaya tinggi (yang dianggap oldskool) sebagai inovasi dan inspirasi. Artinya secara ngga langsung, dan sadar atau tidak – mereka, Adidas mengakui eksistensi motif-motif tersebut.

Dressing is a way of life. (Yvess Saint Lauren)

Kalau motif-motif batik yang agung itu nempel di badan – which called dressing, artinya motif-motif tersebut adalah jalan hidup orang yang menggunakannya. Seharusnya. Kembali lagi kan? Masalahnya dia ngerti atau ngga… Aneh ngga gw?

1 comment: