16 November 2008

maybe they are

1
Suatu hari seorang teman bertanya padaku: “Menurutmu, apakah dia laki-laki yang cukup tepat untukku?”
Aku tersenyum, “Kamu mau jawaban yang jujur atau yang menghibur?”
“Yang jujur. Kamu kan temanku.”
“Baiklah. Satu lagi: Kamu harus pilih, bersama dengan seorang laki-laki yang selalu memujamu karena dia begitu mencintaimu atau bersama dengan seorang laki-laki yang mampu memberikan rasa aman lahir dan batin?”
“Kamu gila, ya?! Tentu saja lelaki tipe kedua.”
Aku terdiam. Sedikit tidak enak mengatakannya. “OK. Dia bukan laki-laki yang tepat untukmu.”
“Aku bingung dengan perasaan ini.”
“Itu ruginya kalau kamu masih punya rasa cinta.”
“Iya, aku mencintainya – walau tidak penuh.”
“…”
2
Di hari yang lain, seorang teman mulai bercerita. “Aku putus dengannya.”
Aku terdiam, agak lama – berusaha mencerna perkataannya. “Lagi???”
“Iya. Kali ini pasti.”
Aku tersenyum (lagi-lagi), “Kamu mau pasang taruhan berapa? Pasti nyambung lagi.”
Dia menggeleng dengan pasti. “Ngga, kok. Kali ini bener!”
“Aaah, kemarin kamu juga bilang begitu!”
“Bener! Aku serius kali ini. Aku sudah bulatkan tekad.”
“Sekali pun dia yang minta balikan, dan walaupun kamu masih cinta?!”
“Pokoknya aku ngga bisa.”
“Memangnya kenapa sih…? Putus – sambung.”
“Dia sadar bahwa dia terlalu egois, dia belum siap untuk berubah. Dia masih ingin bersenang-senang.”
“Lalu, apakah kamu tidak mau memberikannya sedikit waktu?”
“Aku ngga bisa. Aku selalu ingin dia jadi perempuan yang seperti aku ingin.”
Aku menghela napas. “Yah… Kalau hal tersebut memang keputusanmu, asal jangan jadikan hal ini seperti mainan.”
“Tidak, aku benar-benar serius.”
“…”
3
Di hari yang jauh lebih belakangan, seorang teman perempuan menghubungiku. Kami berbicara di telepon. Ia pun mulai bercerita.“Aku bingung. Aku lebih ingin menyudahi hubungan ini.”
“Apa kamu yakin? Kamu tidak ingin membicarakannya terlebih dahulu?”
“Otakku sudah terlalu buntu untuk dipaksa memikirkan hubungan ini.”
“Apa kamu tidak mau mencoba melihat dari sisinya?”
“…”
“Yah, tapi dia memang keterlaluan sih.”
“Nah?! Wajar kan kalau aku tidak ingin mempertahankan hubungan ini?”
“Itu pilihanmu, tapi jangan lupa – selesaikan dengan adil dan baik. Kita sudah dewasa.” Aku pun tertawa.
“Iya, aku mulai mencari waktu yang tepat. Aku sudah tidak tahan, tapi aku rindu padanya – berkali-kali.”
“Itu bagian dari proses.”
“Rasanya aku tidak bisa berhenti mencintainya.”
“…”
4
Ini hari yang lain.
“Dia menyuruhku menentukan perasaanku.”
Aku tersenyum dan menanggapi, “Apakah kamu begitu sulit mengidentifikasikan perasaanmu setelah laki-laki baru itu datang?”
“Iya, aku sangat menyukainya tapi aku tidak mau meninggalkan segala sesuatu yang sudah aku bangun bersama laki-laki pertamaku.”
“Kamu harus lihat ke depan. Bagaimana kalau ternyata lelaki kedua itu adalah ‘orangnya’?”
“Sepertinya tidak mungkin.”
Aku tertawa, “Iya. Kamu pasti tahu kan, tidak akan pernah ada laki-laki lain yang bisa mencintaimu lebih baik daripada lelaki pertamamu?”
“Iya.”
“Lalu?”
“Aku sangat menyukai lelaki keduaku.”
“Ya sudah. Katakan saja kepada lelaki pertamamu.”
“Aku tidak bisa. Aku tidak mau kehilangan dia.”
“Lalu? Bagaimana kalau lelaki kedua itu adalah garis hidupmu? Bagaimana kalau kamu memang mencintainya?”
“Iya.”
“Ah, kamu hanya penasaran.”
“Lalu bagaimana jika seperti yang kamu katakan adalah benar? Dia, sang lelaki kedua, adalah garis hidupku? Aku bisa salah seumur hidup.”
“…”

5
“…”
Aku menjawab, “Mungkin dia memang orang yang tepat, sangat tepat untukmu – hanya saja ia datang di waktu yang salah.”

*Untuk orang ke-1, 2, 3, 4 – terima kasih ya, maaf curhatnya diadaptasi jadi tulisan blog :)

No comments:

Post a Comment