29 November 2008

Maaf Buat Danang (Bagian 1)

Aku mengetukkan jariku di dinding kamarnya. Ia datang membukakan pintu. Ia menyuruhku masuk, dia baru saja selesai mandi. Aku menghempaskan diriku ke sofa terakota kesayangannya. Sofa itu kenal dia jauh lebih dulu dibandingkan aku. Ia bercerita, sofa itu didapatkannya dari garage sale. Cuma delapan ratus ribu – murah untuk singgasana sebesar dan senyaman ini. Aku mulai mencari-cari kotak rokok di dalam totebag-ku.

Ah, akhirnya kutemukan candu itu. Iya, aku menyebutnya candu – karena tetap saja batangan tipi situ membuatku tidak bisa lepas. Terutama di saat-saat seperti ini, saat aku perlu tenang. Nyaman dan santai. Rokok adalah benda ketiga setelah dia dan tempat ini. Semuanya candu. Aku tersenyum sambil menyulut rokokku. Betapa aku beruntung, mendapatkan tiga hal ini. Aku mulai mencari posisi yang lebih nyaman. Aku perlu beberapa menit untuk membiarkan beberapa racun masuk ke dalam kepalaku. Racun tapi membuat senang. Ah, biarlah! Yang penting aku senang.

Aku mulai memejamkan mataku sesaat. Udara sore seperti saat ini selalu menantiku di kamar ini. Kamar yang tidak seberapa. Tidak terlalu besar, tapi selalu memanggilku kembali. Aku selalu kembali ke sini, untuk hal-hal yang lebih besar. Tempat ini juga racun, tapi bikin senang. Aku tidak peduli, yang penting aku bisa lupa segalanya di sini. Aku puas di sini. Semuanya di sini, selalu memuaskanku – walau sementara. Termasuk dirinya. Aku memperhatikan dirinya yang berjarak beberapa meter dari diriku. Sekarang dia sudah membuka bajunya, tinggal jeans robek-robeknya. Jeans itu sudah tujuh tahun dia pakai. Dari SMA. Wajar kalau sudah robek-robek, warnanya juga sudah pudar. Tadi waktu membukakan pintu, jeans itu berpasangan dengan kaos putih belel tapi udara yang sedikit panas memaksanya menanggalkan kaos itu. Lagipula, tidak akan ada tamu yang datang lagi setelah sore ini. Sampai besok pagi.

“Kamu punya air es ngga?” aku bertanya padanya, tapi sambil membuka pintu lemari es. “Aku mau buat es teh manis nih. Kamu mau?”
“Boleh. Aku masih harus selesaikan beberapa paragraf lagi. Nanti tolong bawa ke sini ya.”
Dia ada di depan computer. Saat-saat seperti ini, aku belum bisa mengusiknya tapi aku tahu dia akan segera meninggalkan computernya buat aku. Dia adalah seorang penulis. Belum jadi penulis besar, tapi aku yakin – suatu saat nanti pasti dia akan menghasilkan buku-buku best seller. Sekarang dia masih mencoba menyelesaikan calon novelnya yang akan diajukan ke publisher, dan menulis di beberapa kolom koran. Lokal dan nasional. Kadang dia mengirimkan beberapa cerita pendek juga, ke majalah dan koran. Bahkan majalah internasional. Semuanya lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya. Dia penulis yang cukup produktif.
Aku meletakkan es teh manis di meja lampu yang ada di dekat computernya. “Ini ya, aku letakkan di sini.”
“Makasih ya. Sabar ya, Ma. Lima belas menit lagi.”
“OK. Aku kan bisa merokok di sofa.”
“Kamu nonton TV aja.”
“Ngga ah, nanti mengganggu Kamu. Aku tidur-tiduran aja.”

Aku kembali memejamkan mataku. Adzan magrib terdengar di telingaku. Hari ini aku datang lebih cepat dari biasa. Biasanya aku datang setelah waktu shalat magrib. Hari ini, tempat ini memanggilku lebih cepat. Aku baru saja bertengkar dengan pacarku. Sebenarnya, pertengkaran adalah hal biasa bagi kami. Aku cuma tidak tahan dengan perangainya yang temperamental. Kadang, kalau pacarku begitu marah – beberapa tanda biru menghampiri tubuhku. Sekarang aku langsung pergi begitu dia mulai marah. Aku sedang tidak rela dipukuli. Dulu aku mau saja dipukuli, karena cinta. Agak bodoh tapi lama-lama aku kebal. Apalagi setelah aku mengenal Danang, pemilik kamar candu ini. Dia mengalihkan perhatianku. Aku hanya belum bisa lepas dari Doni, pacarku. Karena kadang manusia membutuhkan beberapa waktu untuk mengumpulkan sesuatu, dan aku sedang mengumpulkan keberanian.

“Ilma…”
Suara Danang membangunkanku. Ternyata aku tertidur. Mungkin aku lelah. Semalaman aku tidak tidur. Pacarku menginap di rumah kontrakanku. Demi bertengkar denganku. Dasar gila. Pertengkaran gara-gara hal sepele: aku lupa membangunkan dia. Dia bilang, bagaimana mungkin ku jadi istri yang baik kalau membangunkannya saja aku lupa. Aku cuma tertawa saat itu. Siapa yang mau menikah dengan laki-laki tukang selingkuh? Lagipula, aku juga bukan pacar yang baik. Aku begitu takut sampai tidak bisa tidur, walau Doni tidur.
“Bungkusan kamu ini, makanan kan?”
“Iya, Nang. Buat kita nanti.”
“Aku letakkan di pemanas ya.” Danang merapikan makanan yang aku bawa untuk makan malam kami. “Kamu berantem lagi sama Doni?”
Aku tersenyum. “Ya begitulah. Sudah biasa ‘kan?”
“Dia nginep?” Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Danang.
“Kamu dipukuli lagi?”
“Untungnya ngga tapi tadi pagi dia ngerusak rangkaian bunga yang aku buat. Dari dua hari yang lalu sih, tapi masih segar. Kesel aja ngeliatnya. Untung bukan vas kirstalnya yang dibanting!”
“Berantem dari malamnya?”
“Iya tapi dia tidur setelah tenang. Biasalah, aku kan perempuan – punya senjata. Kami berhenti bertengkar di situ. Untung masih bisa berhenti, Nang – tapi akunya yang ngga tidur.”
“Tapi Kamu lari dari masalah kalau ke sini terus.”
“Iya, tapi karena ada Kamu di sini.”
“Kamu selalu begitu.”
“Habis mau gimana lagi. Kamu selalu bikin aku senang, hanya saja aku belum berani pergi dari Doni.”
“Sampai kapan kamu jadikan aku pelarian, Ilma? Kamu selalu sembunyi.”
Aku turun dari sofa. Aku memeluk Danang yang sedang duduk di lantai, dari belakang. Aku menyandarkan kepalaku di punggungnya. Danang sangat berarti bagiku, tapi hanya saat ini. Aku tahu, aku akan menemukan perhentian-perhentian lain di kemudian hari. Aku tidak percaya cinta. Aku cuma percaya hidup harus senang.
“Kita kan sama-sama tahu, Danang,” aku berbisik di telinganya, “Kita cuma bersenang-senang. Asal kita sama-sama senang, itu cukup ‘kan?”
Aku mencium pipinya. Aku selalu senang ketika bersama Danang. Mungkin bukan senang, tapi aman. Aku tahu Danang tidak akan memukuli aku. Aku tahu Danang akan memuaskan aku sebagai perempuan. Aku bisa jadi aku ketika bersama Danang, tapi aku tahu – aku dan Danang cuma sementara. Aku hanya tidak ingin kehilangan waktu-waktu singkat ini. Aku memeluknya lebih erat. Danang membalikkan badannya, kini ia berhadapan denganku. Kami saling menatap. Napasnya terasa hangat di wajahku. Aku meletakkan tangan di pipinya, menyentuh kulitnya yang sedikit kasar.
“Danang, Kamu tahu ngga…”
“Apa…”
“Saat ini, Kamu satu-satunya orang yang bisa menenangkan aku.”
“Hm…?” Danang mengangkat alisnya.
“Iya. Kamu tahu kan, hubunganku dengan Doni. Aku sayang dia.”
“Walau dia lebih pantas ditinggalin aja?”
“Iya. Bodoh ya? Ngga tahu kenapa, susah untuk ninggalin Doni begitu aja.”
“Ilma, kita bicaranya nanti saja ya. Setelah kita selesai.”
“Aku masih kepikiran kejadian kemarin, Nang. Sepele.”
“Sepele, ‘kan? Bagaimana kalau aku membuatmu melupakannya saja?”
“Aku ngga konsen, Nang…”
“Aku yang bikin Kamu konsentrasi.”
“Danang, aku sayang Doni.”
“Kamu mau senang kan, Ma?”
“Danang, tolong…”
Tiba-tiba saja Danang sudah mengulum bibirku. Semua tentang Doni menguap begitu saja. Aku pun sudah mengulum bibirnya. Selalu begini, setiap hari. Kami selalu melakukannya di kamar ini, kamar candu kataku. Di setiap sudut kamar ini. Kali ini di lantai, di dekat sofa kesayangannya. Hatiku masih bersama Doni, tapi Danang selalu memberikan aku kesenangan dan kepuasan yang tidak pernah Doni berikan – yang dulu pernah Doni berikan. Bedanya, Danang hanya ingin bikin aku senang. Lagipula, dia juga senang. Lelaki mana yang menolak diberikan kenikmatan? Biarlah, yang penting aku dan Danang sama-sama senang sampai besok pagi. Aku senang, Danang selalu mematikan handphone-nya setiap kali aku datang. Tidak akan ada tamu sampai besok. Cuma aku dan Danang, dan senang. Tidak ada Doni, cuma SMS-nya. Danang mematikan handphone, tapi tidak dengan aku – itu kesepakatannya. Doni tidak tahu hubunganku dengan Dananglah yang membuatku bertahan dengannya sampai hari ini. Lagipula, hari ini Doni tidak akan SMS.

Kami sudah selesai, dan aku kembali mengatakan hal yang sama. Sama dengan hari-hari sebelumnya: “Nang. Makasih ya. Kita bersenang-senang bersama. Kamu hebat.”

Bersambung ah ah ah (cape)

No comments:

Post a Comment