29 November 2008

Namanya Life Insight ya???

Thanx to Stephanie & Juven. Karena mereka menyadarkan gw. Kemaren sore, gw lagi buru-buru mau makan sate bareng teman-teman yang lain tapi dipanggil sama dua orang itu dulu. Mereka mau tanya. Mereka tanya insight gw dalam hidup: cara gw memandang hidup. Karena gw buru-buru jadi jawaban gw spontan dan biasanya, jawaban spontan datang dari hati yang jujur karena tanpa dipikir. Iya kan?


Ini jawaban gw:

Gw ngga suka masa lalu. Gw suka hari ini dan masa depan. Karena gw hidup hari ini dan di masa depan gw bisa punya target, rencana, dan bisa maju. Seindah-indahnya masa lalu, gw ngga akan pernah kembali ke masa lalu. Masa lalu memang kasih kita pelajaran, tapi aplikasi pelajaran dari masa lalu ditentukan hari ini.

Ya ampun setelah gw pikir-pikir lagi, pandangan hidup itu menggambarkan kepribadian yang keras deh. Gw langsung, dengan sedikit ngga terima, masih bertanya-tanya sama diri gw sendiri: sekeras itu kah gw dalam menghadapi hidup? Why do I have to be so hard?

Dulu, prinsip gw dalam menjalani hidup adalah think and act positive! Nah, kalo kaya gini kan manis. Enak didengar dan terkesan optimis dalam menyikapi hidup. Well, times change us – then I become into a darker person. I came a bit bitter :) Kenapa gw sampe punya pikiran seperti itu? Ternyata buat gw sekarang, hidup itu ngga pernah bersahabat. Kita yang harus bersahabat kepada hidup. Buat gw kemanisan dalam hidup itu cuma dandanan (mungkin biar kalo kita ditulisin biografinya waktu udah meninggal jadi ngga terlalu membosankan). Hidup itu indah bagaimana cara kita melihatnya, buat gw kepahitannya adalah keindahannya – termasuk cara kita membuatnya menjadi manis. Keindahannya ada pada proses.


Maybe this is the circumstance I am staging, tomorrows will have their own story.

Akibat Kurang Baca?

Gw pernah ngomongin ini sama temen gw pas makan siang. Temen gw ini adalah seorang Katolik yang – liberal, bebas merdeka :) Cukup akrab karena kami sudah cukup lama berteman: empat tahun. Lumayan kan? Gw sendiri adalah seorang Kristen, yang – tidak terlalu fanatik dan tidak suka disebut religious. Christ didn’t come to bring a religion but He brought salvation in love (ini kalimat orisinil gw lo). Sedaaaaap…!

Kita ngobrol, tentang peran gereja. Yah sedikit mencoba menjadi sok bijaksana dan terbuka hehe… Obrolan kita berawal dari komik online yang melecehkan Nabi Muhammad itu. Sedang ramai. Kenapa umat beragama sekarang harus ribet sama hal-hal yang sifatnya provokatif begitu? Kalau percaya, ya percaya saja. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Perang ngga Cuma terjadi di antara umat yang agamanya berbeda, tapi di antara umat yang agamanya sama. Di sini sebagai orang Kristen, I mainly refer to Christian people. Kenapa harus balik nyolot kalo dinyolotin? That is obviously not love that Christ taught.

Negara ini sedang menuju kesudahannya. Kadang gw punya pikiran jahat, kenapa Indonesia ngga dijual aja? Mungkin Tuhan Cuma ingin membuktikan kebesaran-Nya lewat Indonesia – kepada dunia. Mungkin Indonesia akan mengalami perubahan besar-besaran, tapi perubahan itu ngga akan dicapai sebelum kita sendiri sadar akan kerusakan kita. Kemerdekaan yang kemaren bukan seluruh rakyat yang mengusahakan. Lihat bangsa Jepang dan bangsa-bangsa Eropa. Setelah dibom dan mencapai titik nol, Jepang benar-benar bangkit. Eropa setelah mengalami dark age, mereka mengalami revolusi dan bangkit. Mungkin Indonesia belum mencapai titik nol nya. Kita terlalu majemuk. Justru itu kan yang indah dari Indonesia? Kesatuan dalam perbedaan: Bhinneka Tunggal Ika.

Gw, sebagai Kristen sudah pernah baca beberapa bulletin dan majalah yang memuat artikel tentang transformasi Indonesia. Beberapa nabi dan nabiah dari berbagai Negara mendapat penglihatan dan nubuatan tentang pemulihan Indonesia: transformasi Indonesia. Kita pasti bangkit. Gw sih, selama beritanya baik, entah benar atau tidak diaminin aja. AMIN! Gw suka jalan-jalan ke berbagai gereja dan hal ini juga sudah mulai dibicarakan dan menjadi isu di antara gereja-gereja. Sayangnya, sepertinya mereka punya persepsi yang salah terhadap transformasi. Mentang-mentang beritanya datang dari utusan Tuhan yang Kristen, mereka pikir transformasi akan mengkristenkan Indonesia.

Gw dengan temen gw mulai terlibat obrolan seru. Kita berpikir dan sepakat bahwa tugas gereja (yang bukan gedung tapi orang) adalah menjadi terang, mengasihi sesama manusia sebagai wujud kemanusiaan Tuhan, dan menjadikan semua bangsa murid-Nya. But there’s this one thing we forget: GOD IS LOVE. Bukan Kristen. Mengasihi sesama dengan tulus sudah mengabarkan Yesus kepada mereka. Tugas kita adalah mengasihi dalam wujud konkrit dan bukan mengkristenisasi. Well, I think banyak umat Kristen yang kurang jeli dalam membaca alkitab sampai akhirnya salah persepsi. Mungkin kesalahan persepsi inilah yang memicu perang antar umat muslim dan Kristen yang ngga pernah berhenti. Kita sama-sama ngga ngerti. Sama seperti umat muslim yang seringkali menyamakan Yahudi dengan Kristen. YA AMPUN ini salah sekali! Karena kita ngga tahu, punya kitab males baca – jadilah perang saudara.

Beberapa orang terpanggil menjadi penginjil, gw percaya itu – mengabarkan Yesus dalam cara yang ekstrim dan radikal tapi kita – WAJIB mengabarkan Yesus lewat inti ajaran-Nya. Yesus adalah kasih itu sendiri. Selama orang menerima dan setuju dengan kasih yang kita berikan, kita sudah menjadikan mereka murid-Nya. Biarkan saja status apapun yang melekat pada mereka, yang penting hati mereka setuju dengan kasih. Itu Yesus. After we’ve done our part, God will do HIS.

WHY Distance Matters?

Hal inilah yang seringkali gw pertanyakan tentang satu hubungan. Long Distance Relationship. Denger frase yang satu ini – rasanya berat banget. Gw juga ngga tau apa yang bikin berat. Eh. layak ngga sih hal tersebut gw sebut ‘berat’?

Gini maksud gw. Seringkali pasangan putus hubungan karena salah satunya harus pergi ke luar kota atau luar negeri. Susah buat LDR. Atau yang sudah berkomitmen LDR, akhirnya putus juga. Pasti komentar orang-orang, ‘Yah, emang resikonya LDR sih putus gini.’ Atau, ada yang sudah pasti minta putus kalo harus LDR. Ngga bisa LDR – bilangnya sih begitu.

Jujur aja, gw juga pernah LDR. Berat memang. Berat di ongkos! Ongkos pulang pergi kalo mau ketemu, dan ongkos pulsa yang pastinya. Tagihan membengkak – itulah efek terjelas yang gw rasakan waktu LDR. Well, mungkin kalau lama berjaraknya cukup lama – LDR akan menjadi sesuatu yang sangat berat. Terutama bagi pihak perempuan mungkin. Setiap perempuan membutuhkan kejelasan. Hahaha – klasik!

Well, artinya distance di dalam hubungan ngga hanya berarti jarak tempat. Distance berbicara mengenai waktu, usia, perbedaan pemahaman, dan lain-lain. Jadi ternyata LDR juga bisa terjadi bahkan ketika pasangan tersebut bersama-sama dan berada di dalam jarak tempat yang dekat, satu rumah misalnya. Satu rumah kalo udah ngga pernah omongan lagi ya sama aja LDR. Ada jarak intinya.

Well, relationship is still about make the distance closer atau bahkan ngga berjarak sama sekali.

Maaf Buat Danang (Bagian 1)

Aku mengetukkan jariku di dinding kamarnya. Ia datang membukakan pintu. Ia menyuruhku masuk, dia baru saja selesai mandi. Aku menghempaskan diriku ke sofa terakota kesayangannya. Sofa itu kenal dia jauh lebih dulu dibandingkan aku. Ia bercerita, sofa itu didapatkannya dari garage sale. Cuma delapan ratus ribu – murah untuk singgasana sebesar dan senyaman ini. Aku mulai mencari-cari kotak rokok di dalam totebag-ku.

Ah, akhirnya kutemukan candu itu. Iya, aku menyebutnya candu – karena tetap saja batangan tipi situ membuatku tidak bisa lepas. Terutama di saat-saat seperti ini, saat aku perlu tenang. Nyaman dan santai. Rokok adalah benda ketiga setelah dia dan tempat ini. Semuanya candu. Aku tersenyum sambil menyulut rokokku. Betapa aku beruntung, mendapatkan tiga hal ini. Aku mulai mencari posisi yang lebih nyaman. Aku perlu beberapa menit untuk membiarkan beberapa racun masuk ke dalam kepalaku. Racun tapi membuat senang. Ah, biarlah! Yang penting aku senang.

Aku mulai memejamkan mataku sesaat. Udara sore seperti saat ini selalu menantiku di kamar ini. Kamar yang tidak seberapa. Tidak terlalu besar, tapi selalu memanggilku kembali. Aku selalu kembali ke sini, untuk hal-hal yang lebih besar. Tempat ini juga racun, tapi bikin senang. Aku tidak peduli, yang penting aku bisa lupa segalanya di sini. Aku puas di sini. Semuanya di sini, selalu memuaskanku – walau sementara. Termasuk dirinya. Aku memperhatikan dirinya yang berjarak beberapa meter dari diriku. Sekarang dia sudah membuka bajunya, tinggal jeans robek-robeknya. Jeans itu sudah tujuh tahun dia pakai. Dari SMA. Wajar kalau sudah robek-robek, warnanya juga sudah pudar. Tadi waktu membukakan pintu, jeans itu berpasangan dengan kaos putih belel tapi udara yang sedikit panas memaksanya menanggalkan kaos itu. Lagipula, tidak akan ada tamu yang datang lagi setelah sore ini. Sampai besok pagi.

“Kamu punya air es ngga?” aku bertanya padanya, tapi sambil membuka pintu lemari es. “Aku mau buat es teh manis nih. Kamu mau?”
“Boleh. Aku masih harus selesaikan beberapa paragraf lagi. Nanti tolong bawa ke sini ya.”
Dia ada di depan computer. Saat-saat seperti ini, aku belum bisa mengusiknya tapi aku tahu dia akan segera meninggalkan computernya buat aku. Dia adalah seorang penulis. Belum jadi penulis besar, tapi aku yakin – suatu saat nanti pasti dia akan menghasilkan buku-buku best seller. Sekarang dia masih mencoba menyelesaikan calon novelnya yang akan diajukan ke publisher, dan menulis di beberapa kolom koran. Lokal dan nasional. Kadang dia mengirimkan beberapa cerita pendek juga, ke majalah dan koran. Bahkan majalah internasional. Semuanya lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya. Dia penulis yang cukup produktif.
Aku meletakkan es teh manis di meja lampu yang ada di dekat computernya. “Ini ya, aku letakkan di sini.”
“Makasih ya. Sabar ya, Ma. Lima belas menit lagi.”
“OK. Aku kan bisa merokok di sofa.”
“Kamu nonton TV aja.”
“Ngga ah, nanti mengganggu Kamu. Aku tidur-tiduran aja.”

Aku kembali memejamkan mataku. Adzan magrib terdengar di telingaku. Hari ini aku datang lebih cepat dari biasa. Biasanya aku datang setelah waktu shalat magrib. Hari ini, tempat ini memanggilku lebih cepat. Aku baru saja bertengkar dengan pacarku. Sebenarnya, pertengkaran adalah hal biasa bagi kami. Aku cuma tidak tahan dengan perangainya yang temperamental. Kadang, kalau pacarku begitu marah – beberapa tanda biru menghampiri tubuhku. Sekarang aku langsung pergi begitu dia mulai marah. Aku sedang tidak rela dipukuli. Dulu aku mau saja dipukuli, karena cinta. Agak bodoh tapi lama-lama aku kebal. Apalagi setelah aku mengenal Danang, pemilik kamar candu ini. Dia mengalihkan perhatianku. Aku hanya belum bisa lepas dari Doni, pacarku. Karena kadang manusia membutuhkan beberapa waktu untuk mengumpulkan sesuatu, dan aku sedang mengumpulkan keberanian.

“Ilma…”
Suara Danang membangunkanku. Ternyata aku tertidur. Mungkin aku lelah. Semalaman aku tidak tidur. Pacarku menginap di rumah kontrakanku. Demi bertengkar denganku. Dasar gila. Pertengkaran gara-gara hal sepele: aku lupa membangunkan dia. Dia bilang, bagaimana mungkin ku jadi istri yang baik kalau membangunkannya saja aku lupa. Aku cuma tertawa saat itu. Siapa yang mau menikah dengan laki-laki tukang selingkuh? Lagipula, aku juga bukan pacar yang baik. Aku begitu takut sampai tidak bisa tidur, walau Doni tidur.
“Bungkusan kamu ini, makanan kan?”
“Iya, Nang. Buat kita nanti.”
“Aku letakkan di pemanas ya.” Danang merapikan makanan yang aku bawa untuk makan malam kami. “Kamu berantem lagi sama Doni?”
Aku tersenyum. “Ya begitulah. Sudah biasa ‘kan?”
“Dia nginep?” Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Danang.
“Kamu dipukuli lagi?”
“Untungnya ngga tapi tadi pagi dia ngerusak rangkaian bunga yang aku buat. Dari dua hari yang lalu sih, tapi masih segar. Kesel aja ngeliatnya. Untung bukan vas kirstalnya yang dibanting!”
“Berantem dari malamnya?”
“Iya tapi dia tidur setelah tenang. Biasalah, aku kan perempuan – punya senjata. Kami berhenti bertengkar di situ. Untung masih bisa berhenti, Nang – tapi akunya yang ngga tidur.”
“Tapi Kamu lari dari masalah kalau ke sini terus.”
“Iya, tapi karena ada Kamu di sini.”
“Kamu selalu begitu.”
“Habis mau gimana lagi. Kamu selalu bikin aku senang, hanya saja aku belum berani pergi dari Doni.”
“Sampai kapan kamu jadikan aku pelarian, Ilma? Kamu selalu sembunyi.”
Aku turun dari sofa. Aku memeluk Danang yang sedang duduk di lantai, dari belakang. Aku menyandarkan kepalaku di punggungnya. Danang sangat berarti bagiku, tapi hanya saat ini. Aku tahu, aku akan menemukan perhentian-perhentian lain di kemudian hari. Aku tidak percaya cinta. Aku cuma percaya hidup harus senang.
“Kita kan sama-sama tahu, Danang,” aku berbisik di telinganya, “Kita cuma bersenang-senang. Asal kita sama-sama senang, itu cukup ‘kan?”
Aku mencium pipinya. Aku selalu senang ketika bersama Danang. Mungkin bukan senang, tapi aman. Aku tahu Danang tidak akan memukuli aku. Aku tahu Danang akan memuaskan aku sebagai perempuan. Aku bisa jadi aku ketika bersama Danang, tapi aku tahu – aku dan Danang cuma sementara. Aku hanya tidak ingin kehilangan waktu-waktu singkat ini. Aku memeluknya lebih erat. Danang membalikkan badannya, kini ia berhadapan denganku. Kami saling menatap. Napasnya terasa hangat di wajahku. Aku meletakkan tangan di pipinya, menyentuh kulitnya yang sedikit kasar.
“Danang, Kamu tahu ngga…”
“Apa…”
“Saat ini, Kamu satu-satunya orang yang bisa menenangkan aku.”
“Hm…?” Danang mengangkat alisnya.
“Iya. Kamu tahu kan, hubunganku dengan Doni. Aku sayang dia.”
“Walau dia lebih pantas ditinggalin aja?”
“Iya. Bodoh ya? Ngga tahu kenapa, susah untuk ninggalin Doni begitu aja.”
“Ilma, kita bicaranya nanti saja ya. Setelah kita selesai.”
“Aku masih kepikiran kejadian kemarin, Nang. Sepele.”
“Sepele, ‘kan? Bagaimana kalau aku membuatmu melupakannya saja?”
“Aku ngga konsen, Nang…”
“Aku yang bikin Kamu konsentrasi.”
“Danang, aku sayang Doni.”
“Kamu mau senang kan, Ma?”
“Danang, tolong…”
Tiba-tiba saja Danang sudah mengulum bibirku. Semua tentang Doni menguap begitu saja. Aku pun sudah mengulum bibirnya. Selalu begini, setiap hari. Kami selalu melakukannya di kamar ini, kamar candu kataku. Di setiap sudut kamar ini. Kali ini di lantai, di dekat sofa kesayangannya. Hatiku masih bersama Doni, tapi Danang selalu memberikan aku kesenangan dan kepuasan yang tidak pernah Doni berikan – yang dulu pernah Doni berikan. Bedanya, Danang hanya ingin bikin aku senang. Lagipula, dia juga senang. Lelaki mana yang menolak diberikan kenikmatan? Biarlah, yang penting aku dan Danang sama-sama senang sampai besok pagi. Aku senang, Danang selalu mematikan handphone-nya setiap kali aku datang. Tidak akan ada tamu sampai besok. Cuma aku dan Danang, dan senang. Tidak ada Doni, cuma SMS-nya. Danang mematikan handphone, tapi tidak dengan aku – itu kesepakatannya. Doni tidak tahu hubunganku dengan Dananglah yang membuatku bertahan dengannya sampai hari ini. Lagipula, hari ini Doni tidak akan SMS.

Kami sudah selesai, dan aku kembali mengatakan hal yang sama. Sama dengan hari-hari sebelumnya: “Nang. Makasih ya. Kita bersenang-senang bersama. Kamu hebat.”

Bersambung ah ah ah (cape)

Memang Kenapa Kalo Beda

Gw sedikit kesal, beberapa kali – dengan adanya denominasi gereja dan pemisahan antara gereja Katolik dan Kristen. Hal ini membuat umat Kristen dan katolik bukan hanya apriori terhadap umat dengan kepercayaan lain, tapi sama ‘saudaranya’ sendiri juga. Tuhan-nya kan satu: Yesus Kristus, kenapa sih harus saling menyerang? Saling menentang dan ada rasa ngga suka.

Kita ngga beda, cuma proses yang membedakan. Tuhan Yesus kan satu orang, ajarannya juga satu: kasih. Kenapa ada permusuhan dalam kepercayaan akan kasih? Bete deh gw. Banyak jalan menuju ke Roma. Sama juga, denominasi gereja hanya membedakan cara. Kalo dengan jungkir balik bisa ketemu Tuhan Yesus, kenapa ngotot harus sujud? Kalo dengan hening bisa ketemu Tuhan Yesus, kenapa ngotot harus tepuk tangan juga? Heran gw, tiap orang kan beda-beda. Harusnya kita bisa saling menghargai (iya sih, kalo kita saling menghargai ngga mungkin ada perang di dunia)

Beberapa percakapan
Tentang Kristen
Gw : Ya mungkin kurang bertobat.
Dia 1 : Kalo bertobat harus baptis selam?! Baru tobat artinya?!
Gw : Bertobat ya minta ampun sama Tuhan pake doa. Ngga pake baptis selam.
Dia 1 : Kirain harus, kalo ngga berarti belom tobat.
Gw : (Negative thinking banget sih saking antipatinya sama sodara sendiri)

Tentang Katolik
Dia 2 : Ya itu yang gw ngga suka dari orang Katolik. Banyak berhala.
Gw : Itu cuma simbol awalnya.
Dia 2 : Tetep aja disembah-sembah.
Gw : Itu salah kaprah sampe sininya.
Dia 2 : Sama aja!
Gw : Mereka cuma bertahan pada cara lama saja – mengutamakan kesakralan dan keheningan.
Dia 2 : Ngga hidup. Ngantuk.
Gw : Ya ngantuk sih cuma mungkin jemaatnya bisa ketemu Tuhan dengan cara seperti itu.
Dia 2 : Ngga masuk akal.
Gw : Makanya kamu ngga jadi katolik.

Tentang Kristen
Gw : Kristen sama katolik Tuhan-nya sama!
Dia 3 : Lo bethel? Sorry ya, gw agak ngga suka. Ada pengalaman ngga enak.
Gw : Kenapa?
Dia 3 : Dulu gw ngga jadi sama cewe gw karena orang tuanya ngga suka gw katolik.
Gw :(ya itu kan orang tuanya, bukan denominasi gerejanya. Wah, terjadi stereotyping subjektif)
Dia 3 : Gw ngga suka bethel kotbahnya selalu tentang uang.
Gw : Ya mungkin lo pas datang pas kotbahnya tentang uang terus.
Dia 3 : Ngga kok, gw sering.
Gw : (ayat di alkitab juga paling banyak tentang duit. Udah baca semua belom?)
Dia 3 : Lagipula Katolik kayanya lebih serius.
Gw : ?
Dia 3 : Dari hidup pastornya aja ngga menikah, hidupnya dari bantuan. Kalo pendeta lihat aja. Dulu gw punya temen anak pendeta, wahhh…
Gw : (ini pernah baca alkitab ngga sih? Abraha, a.k.a Nabi Ibrahim juga utusan Tuhan, tapi nikah, kaya lagi. Kok agak ngga nyambung ya sama keseriusan, itu hanya masalah konvensi cara)
Dia 3 : Dulu gw pernah ke gereja bethel, doa persembahan uangnya dimasukin amplop. Diangkat-angkat didoakan. Apa-apaan itu?! Kalo ngasih ngga usah ribut.
Gw : Oh iya?! Gw belum pernah lihat yang kaya gitu hehe… (so I don’t judge, mungkin kita belum tahu artinya sama kaya gw ngga tahu kenapa orang katolik ngga boleh makan sebelum masuk ibadah, dan seperti kenapa orang Islam harus wudhu – kayanya hanya masalah symbol bukan pamer)

Kenapa sih harus saling membedakan? Kristen juga berangkat dari Katolik. Sampai ada masalah indulgensia yang melahirkan protestan yang akhirnya disebut Kristen. Habis itu juga pasti mereka tobat. Kita juga pake alkitab yang sama. Kejadian sampe Wahyu. Tuhan-nya satu: Yesus Kristus, Allah Anak yang punya Bapa, dan mengutus Roh Kudus. Denominasi hanya memperkaya tubuh Kristus, membuka banyak jalan orang datang kepada Dia. Why do we have to judge one another? Yah ini mungkin yang bikin Yesus bilang, Dia ngga punya tempat untuk meletakkan kepala karena tubuh-Nya terpecah belah. Saling menentang. Mungkin kita semua lupa sama doa Yesus, agar kita bersatu seperti Yesus dan Bapa adalah satu.

Indonesia: Bangsa yang Besar?

Gw lagi nonton Barometer di SCTV (Rabu/26 November 2008, jam 12 malem) – tentang Adam Malik. Heboh banget berita ini. Benar atau salah, gw juga ngga tau. Kayanya sih salah (ya iyalah, gw bela pahlawan gw!) Hehe… Kayanya ada kesalahan analisa kunci yang bikin interpretasi jadi salah. Halah, mulai sok tahu gw…

Lepas dari benar atau salah, gw mengamat-amati (bahasanya blagu) komentar orang-orang untuk Adam Malik. Ya, bisa dilihat betap berkesannya dia di hati banyak orang sebagai seorang pahlawan yang memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme tinggi. Dia orang yang sangat mencintai bangsanya. Logis juga sih kalo pernyataan Tim Weiner itu dibilang salah. Adam Malik kan berjuang membela bangsa ini, kenapa juga dia harus menjual bangsa ini? Well, only God knows this. Habis udah pada meninggal sih.

Gw langsung mikir, betapa (ihiy!) Bangsa Indonesia kehilangan pemimpin-pemimpinnya yang punya integritas. Iya, strategi politik dengan baju ketulusan. Ketulusan hari gini susah ya. Bahkan dari orang yang dipercayakan untuk membawa rakyat Indonesia ke dalam ‘keselamatan’ lagi, susah sekali didapatkan ketulusan. Kalo ketulusan ngga pernah hilang, Indonesia ngga akan separah ini. Ngga akan ada acara KPK di televisi. Ya ampun, kasihan Negara gw.

Mungkin mereka juga ngga salah – mereka, pemimpin yang ngga punya integritas. Meeka ngga tahu. Ngga pernah diajarkan. Jadi siapa yang salah? Penjajahan – itu kata gw. Penjajahan 350 tahun sangat berperan penting dalam mengubah karakter bangsa ini. Karakternya jadi karakter jajahan. Mental pembantu, bukan mental pemimpin. Ngga punya inisiatif untuk membangun bangsa. Cuma bisa menyalahkan dan menuntut. Budak banget kan mentalnya. Cuma bisa mengeluh, menyalahkan dan menuntut tuannya. Ngga pernah puas. Kebanyakan dari kita punya persepsi yang salah dari pemimpin. Disamakan dengan penguasa. Jadinya, kita seringkali bilang “Ini tanah nenek moyang gw!” (efek ngga punya tanah sendiri selama berabad-abad).

Mungkin pendidikan karakter dan kepemimpinan sejak TK/SD lebih penting dibandingkan pendidikan kewarganegaraan. I WISH.

Firasat (benar atau salah)

Kemarin kulihat awan membentuk wajahmu
Desah angin meniupkan namamu
Tubuhku terpaku

Semalam bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur bintang serupa kilau auramu
Aku pun sadari, ku segera berlari

Cepat pulang, cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau cepat pulang
Cepat kembali jangan pergi lagi

Akhirnya, bagai sungai yang mendamba samudera
Ku tahu pasti ke mana ‘kan ku bermuara
Semoga ada waktu, sayangku
Ku percaya alam pun berbahasa
Ada makna di balik semua pertanda
Firasat ini, rasa rindukah ataukah tanda bahaya
Aku tak peduli ku terus berlari

Cepat pulang, cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau cepat pulang
Cepat kembali jangan pergi lagi

Dan lihatlah sayang
Hujan turun membasahi
Seolah ‘tuk berair mata

Aku pun sadari, Engkaulah firasat hati



(ini lagu Marcel)

Her Name is Happiness

Kau tak perlu rangkaian kata untuk pastikan tujuan
Kau tak perlu segenggam kesenangan untuk tersenyum
Karena Kau bahagia dengan caramu

Kau selalu tahu apa yang akan Kau hadapi
Setiap pilihan punya konsekuensi
Makian adalah bahasa hatimu menerima kenyataan.
Mereka adalah kekuatan

Air mata bukan jadi bahasamu
Mereka hanya jadi sejenak peristirahatan
Dari tawamu dalam melangkah

Sederhana. Itu bahasamu.
Tawa adalah bingkai hatimu.
Kalau ada luka, mereka akan jadi pemanis.
Begitu katamu.

Hidup adalah cara kita masing-masing
Dan kau indah dalam caramu sendiri.

50 UNIVERSAL TRUTHS ABOUT MEN

50 UNIVERSAL TRUTHS ABOUT MEN
By: Bob Grant, L.P.C. “The Relationship Doctor”

1st, Why should I remind you that I love you? I already told you ONCE.
2nd, I’ll do anything for SEX; even commit to you for life.
3rd, I HATE ARGUING WITH YOU. I’D MUCH RATHER FIND A COMPROMISE.
4th, I love long hair. Sorry, but I do.
5th, When you speak softly, I can’t help but listen.
6th, I NEED TO BE TOLD “NO” SOMETIMES. Not e lot, but every now and again reminds me that YOU ARE EXPENSIVE.
7th, Please don’t ask me how you look unless you’re willing to trust my answer.
8th, My eyes notice other women a lot more when you’re upset with me.
9th, When you’re happy with me I can’t help but want to please you.
10th, IF I DON’T FEEL LIKE I CAN MAKE YOU HAPPY, IT MAKES ME FEEL HELPLESS.
11th, I expect you to be ready when I pick you up.
12th, Cigarettes make any woman look cheap and easy.
13th, I’M SCARED IF I LET WOMAN INSIDE MY HEART, SHE’LL TAKE ADVANTAGE OF ME.
14th, If you can’t stand up with me when I’m a brat, you’re too weak for me to open up when I’m upset.
15th, Sitting quietly next to me after you’ve made me a meal is your get-out-of-the-doghouse-free ticket. You’ll be surprised how quickly I can forgive.
16th, YOU DID SOMETHING HURTFUL. IF I NEVER BRING IT UP, I’M CONSIDERING LEAVING YOU.
17th, I DON’T READ MINDS. REMEMBER, I’M NOT A GIRL.
18th, YOU MAY KNOW FASHION, BUT I WISH YOU’D DRESS TO PLEASE ME, NOT OTHER WOMEN.
19th, If I’m losing my hair, it’s not funny. Would you like me to joke about your weight?
20th, When I talk to you about golf and you act bored, it would be nice for you to remember all the times I listened to you talking about what is important to you.
21st, The woman I love is easy to please. She appreciates the effort I put into making her happy, EVEN IF I GET THE DETAILS WRONG.
22nd, You look hot in a dress.
23rd, I hate being told what to do when I don’t ask for help. It makes me feel you’re my mother.
24th, If you sleep over, I might eventually marry you, but I’m less motivated.
25th, During sex my ears are as sensitive to your words as your skin is to my touch.
26th, I need some type of signal or cue to walk across the room and approach you. What if you’re married?!
27th, It makes me feel like you trust me when you ask for my advice.
28th, It feels competitive when you insist on being in charge.
29th, BEING RESPECTED IS MORE IMPORTANT TO ME THAN BEING LOVED.
30th, I want every guy to envy me when we arrive as a couple. Please don’t let yourself go.
31st, When I’m upset I am very tone sensitive. HOW YOU SAY IT IS MORE IMPORANT THAN WHAT YOU SAY.
32nd, I hate it when you minimize/ignore my compliments. It makes me want to stop giving them.
33rd, I’m more insecure than you think. Why do you think I need your respect so much?
34th, I DON’T ALWAYS KNOW HOW I FEEL. THAT’S WHY I DON’T TELL YOU.
35th, I don’t need you to do things for me. What I crave is being able to please you.
36th, If I do one thing and say something contradictory – go with my actions, that will always tell you what’s in my heart.
37th, I find myself wanting to please you when you simply smile at me without asking for something (like a favor).
38th, I really don’t want to hear about any of your ex-boyfriends, regardless of the point you are trying to make.
39th, IF I DON’T WHARE WHAT I’M THINKING IT’S BECAUSE I DON’T THINK YOU WILL LISTEN WITHOUT INTERRUPTING.
40th, I DON’T LIKE TO ARGUE AND I DON’T LIKE TO GUESS WHAT’S WRONG. JUST TELL ME SO I CAN FIX IT.
41st, I love it when you put your hair in a pony tail. Yes, it’s a Freudian thing.
42nd, Don’t ask me, “Are you going to wear that?” when I’m already dressed.
43rd, A gentleman should always be respected by his lady in public, even if she is disagreeing with him.
44th, If you don’t believe you’re pretty, you won’t believe me when I tell you, no matter how many times I say it.
45th, IT ISN’T HOW MUCH YOU WEIGH; IT’S THAT YOUR BODY IS PROPORTIONATE WHICH IS SO ATTRACTIVE.
46th, Sometimes I have weird and strange thoughts. I don’t take them seriously and I don’t want to share them with you (or anyone).
47th, SOMETIMES YOU REALLY DON’T WANT TO KNOW WHAT I’M THINKING. See above.
48th, If you cheat on me, it is nearly impossible for me to get over it.
49th, I DON’T REMEMBER EVERYTHING ABOUT OUR RELATIONSHIP AND THAT DOESN’T MEAN I DON’T LOVE YOU.
50th, I need some times for myself to calm down when I’m upset so that I don’t say something I will regret.

I believe these 50 facts are enough to make us, women, understand :)

Interview

Pembimbing mata kuliah seminar gw mengharuskan gw melakukan wawancara terhadap beberapa kritikus mode. Iya, karena judul seminar gw ‘Analisa Pengaruh Sex and the City: the Movie terhadap Gaya Berpakaian Wanita Modern di Jakarta’. Salah satu yang harus gw wawancara adalah Bapak Muara Bagdja. Beliau adalah salah satu kritikus mode yang cukup dikenal.

Gw mengirimkan surat pengantar melalui e-mail, beserta beberapa pertanyaan. Eh, tau-taunya beliau mengirimkan pertanyaan balik. Lucu juga, gw mau interview kok malah diinterview balik :) Dia kasih gw 4 pertanyaan:


Pertama, kenapa Anda pilih Sex and the City sebagai bahan penelitian?

Kedua, apa hubungannya dengan DKV?

Ketiga, apakah Anda sudah nonton Sex and the City: the Movie?

Keempat, Siapakah karakter favorit Anda dari keempat wanita tersebut? Kenapa?


Nah, pertanyaan keempat ini cukup menarik – dan memaksa gw berpikir cepat. Gw nonton serial Sex and the City berkali-kali, dan the Movie-nya pun berkali-kali. Anehnya, gw ngga pernah punya karakter kesukaan. Pernah sih gw mencoba mengidentifikasi diri gw dengan keempat karakter tersebut, dan mencoba memilih satu di antara mereka. Hasilnya?

Ini jawaban gw: Saya tidak punya karakter favorit, karena sepertinya keempat karakter tersebut adalah penggambaran ekstrim dari karakter-karakter yang dimiliki oleh stiap wanita. Saya rasa setiap wanita memiliki keempat karakter tesebut dengan kadar yang berbeda-beda. Kalau saya harus memilih, saya paling suka Charlotte York (Kristin Davis). Mungkin dia lebih konvensional dibandingkan 3 karakter lainnya, tapi dia tidak pernah berhenti berharap akan cinta. Karena tokh, pada akhirnya ketiga karakter lainnya tetap mengharapkan cinta (di sini maksud gw, dibandingkan dengan kehidupan independen dan glamour). Charlotte tidak perlu mengalami proses yang terlalu rumit karena tidak melakukan denial akan kebutuhannya.

Nah, ternyata gw suka Charlotte. Dia memang terkesan ‘lemah’ dibandingkan ketiga karakter lain. Hidupnya cenderung BIASA dan terlalu happy, tapi dia punya keberanian untuk selalu berharap. Itu yang gw suka. Dia tahu kalo dia berharap artinya dia siap disakiti lagi. Dia ngga menjadi pribadi yang sinis, dan ngga pernah berhenti percaya. Well… Maybe she’s the brave one after all.

aku tidak pernah berhenti

Aku sayang kamu, kamu tahu itu. Aku pun tahu – kamu menyayangiku.

Aku tak peduli sebanyak apa kamu menyayangiku.

Aku hanya perlu tahu – kamu cinta aku. Titik.


Aku selalu menyayangimu, berkali-kali.

Tak pernah habis sampai hari ini.


Bahkan ketika aku pikir rasa itu hilang…

Rasa itu ada di sini – tersembunyi jauh di dalam diriku.

Bukan lagi di hatiku, dirimu adalah separuh aku.


Aku masih mau – menyayangimu. Terus.

Aku tak mau selesai – menyayangimu.

Karena menyayangimu membuatku – merasa.

Setidaknya aku tersenyum dan menangis.


Seperti ketika kamu dan aku – mencinta.

Aku bahagia, kamu bahagia.

Kita berdua bahagia. Terus.


Kita berselisih, ada perang dingin.

Namun tak sempat membuat kita tak bahagia.

Aku bahagia.


Kebahagiaan itu sempat padam. Berkali-kali.

Tak pernah benar-benar menyala kembali.

Aku berusaha, kamu tahu itu.

Aku tidak pernah berhenti.


Aku masih mau menyayangimu.

Sama seperti ketika kita bahagia.

Aku masih tahu kamu masih sayang aku.

Kamu pun masih tahu.

Aku tak pernah benar-benar berhenti menyayangimu.

Kebahagiaan saja yang berhenti. Aku tidak.


Kemarin baru saja aku mendapatkannya kembali.

Kebahagiaan.

Dan cinta.

Aku bahagia mencintaimu.

Dan dicintai olehmu. Membuatku bahagia.


Aku tak mau berhenti. Belajar.

Mencintai kamu. Dan merasakan kebahagiaan.

Kebahagiaan itu.


Aku cuma perlu kamu.

Yang tidak mau berhenti belajar. Mencintai aku.

Dengan benar.

Dengan hati.

Bahagia.



P.S: Buat kamu yang di sana, saya jadiin posting di blog ngga apa-apa kan? Makasih lo.

FIGHTER

Kita pasti memiliki beberapa orang terburuk di dalam hidup kita. Setidaknya satu. Mungkin kita ngga pernah mau cari masalah, tapi masalah selalu menemukan kita. Yah, sebenernya memberikan mereka predikat ‘buruk’ juga sudah menghakimi sih. Mungkin tidak, tapi kesan buruk itu tertinggal pada kita. Mungkin kita sudah berhasil melaluinya, atau kita sedang berjuang. Buat beberapa orang, hidup adalah perjuangan. Mungkin gw adalah salah satunya. Buat gw, hidup HARUS selalu maju dan ngga boleh mundur. Hidup harus naik – dan ngga ada kata putar balik atau turun. Sekali atau dua kali kita pasti jatuh, tapi kita sendiri akan belajar untuk cepat-cepat bangkit dan berjalan kembali, tetap maju dan bukan mundur.

Gw adalah seorang Kristen. Dalam kepercayaan gw, ada dua hukum yang terutama. Pertama, kami harus mengasihi Tuhan Allah seperti mengasihi diri sendiri. Kedua, kami harus mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Itu inti kekristenan – SEDERHANA, tapi ngga gampang. Artinya, gw ngga bisa mengasihi siapapun sebelum mengasihi diri gw sendiri. Mengasihi diri sendiri berarti mengampuni dan mau menerima diri kita apa adanya. Ajaran ini juga pernah gw denger di film Love Guru (disgusting film with wise message oleh Austin Power), dari Guru Pitka. Dia Hindu. Inti ajarannya intimacy, yang dia plesetin jadi into-me-i-see (coba diucapkan). Film konyol ini bilang, untuk menerima kasih secara keseluruhan kita harus bisa menerima diri kita. Orang lain ngga bisa menerima kita karena cara kita melihat gambar diri kita sendiri rusak.

Kadang-kadang, hidup menempatkan kita pada suatu kondisi di mana kita harus berhadapan dengan orang-orang yang intimidatif dan membuat kita ngga bisa melihat gambar diri kita secara benar lagi. Akibatnya kita bisa aja benci sama orang itu, karena secara ngga sadar kita udah benci duluan sama hal yang dia akibatkan pada gambar diri kita. Kita secara ngga sadar SETUJU dengan cara dia melihat diri kita, tapi kita menyangkal. Berakhirlah kita pada situasi yang membuat kita ngga mampu menerima diri kita sendiri apa adanya. Benci diri sendiri menghasilkan kebencian terhadap sesama. Sedaaaaap :)

Pikiran ini tiba-tiba muncul di kepala gw, karena gw lagi cape hati sama satu orang. Satu orang yang sama, ngga pernah berubah. Mungkin belum. Dari sayang, sebel, benci, sayang lagi, benci, sampe ngga peduli kaya sekarang. Aneh aja. Seharusnya dia jadi orang yang berpengaruh cukup besar dalam perkembangan gw. Eh, kalo dipikir baik-baik sebenernya dia mendidik gw secara ngga langsung sih. Dengan caranya sendiri. Terima kasih ya.


After all you put me through, you'd think I'd despise you.
But in the end I want to thank you.
Because you made me that much stronger.

When I thought I knew you. Thinking that you were true.
I guess I couldn't trust. Called your bluff, time is up.
'Cause I've had enough.

You were, there by my side. Always, down for the ride.

But your, joy ride just came down in flames.
'Cause your greed sold me out of shame.

After all of the stealing and cheating.
You probably think that I hold resentment for you.
But, oh no, you're wrong.
'Cause if it wasn't for all that you tried to do.
I wouldn't know just how capable I am to pull through.
So I wanna say thank you.

'Cause it makes me that much stronger.

Makes me work a little bit harder.
It makes me that much wiser.

So thanks for making me a fighter.
Made me learn a little bit faster.

Made my skin a little bit thicker.
Makes me that much smarter.

So thanks for making me a fighter.

Never saw it coming. All of your backstabbing.
Just so you could cash in, on a good thing before I realized your game.
I heard you're going around. Playing the victim now.
But don't, even begin feeling I'm the one to blame.
'Cause you dug your own grave.

After all of the fights and the lies.
Yes you wanted to harm me but that won't work anymore.
Uh, no more. Oh no, over.
'Cause if it wasn't for all of your torture.
I wouldn't know how to be this way now, and never back down.
So I wanna say thank you.

How could this
man I thought I knew. Turn out to be unjust so cruel.
Could only see the good in you pretended not to see the truth.
You tried to hide your lies, disguise yourself.
Through living in denial. But in the end you'll see.

YOU-WON'T-STOP-ME.

I am a fighter and I ain't going stop.
There is no turning back. I've had enough
Thought I would forget. But I remember.


Thanx to Christina for the inspiring song :)

A Thought in a Teaspoon of Crème Dessert

Sebentar lagi UAS – deadline di depan mata, tapi masih aja gw duduk-duduk di sini. Sibuk sendiri bermain dengan pikiran, bukan dengan ide-ide untuk mengeksekusi konsep kreatif iklan KAWASAN RESAPAN AIR di LEMBANG. Stop! Ugh, eneg bacanya juga. Mungkin kejenuhan yang didukung cuaca menghasilkan kemalasan yang luar biasa. Sial…


Dan di sinilah gw Рmasih di depan computer butut (sial, monitornya blur!) dengan semangkok chocolate cr̬me dessert.


Jason Mraz yang ganteng juga ngga keberatan tuh nemenin gw :) Dari sebulan yang lalu dia ngamen aja di depan gw padahal ngga gw bayar-bayar. Cinta kali dia ma gw – haha… Well, this crème dessert is just – perfect (FYI: it’s Elle & Vire and you can get it in your closest supermarket). A melting of liquid chocolate in your tongue in the middle of rainy evening would never be better than NOW!

And a teaspoon of chocolate crème dessert has brought me into this simple thought. Kenapa kita memilih teman-teman terbaik? OK. Kenapa gw memilih teman-teman terbaik? Mungkin kalo gw yang harus jawab: karena rasa percaya, yang pada akhirnya akan membawa kita kepada rasa nyaman dan aman untuk bersama-sama bahkan menjaga hubungan dengan pribadi tersebut. Akhirnya gw bilang juga nih. Posting yang judulnya ‘Cerita dari Mimpi’ berisikan beberapa karakter teman-teman gw. Hanya beberapa.

Kenapa hanya beberapa? Sebenernya gw pengen masukin semua, tapi nanti akan jadi novel – bukan cerita buat blog lagi. Hehe… Kenapa gw pilih beberapa orang tersebut? Karena mereka adalah beberapa teman terpenting di dalam otak gw. Mungkin ngga di dalam hati, tapi di otak. Dengan merekalah gw paling sering berinteraksi, saling mengasah satu sama lain. Saling melukai dan membalut :) Tidak semua dari mereka adalah teman terbaik, tapi mereka tetap tinggal di dalam hati dan memori. Beberapa dari mereka mengecewakan,tapi kebaikan mereka ngga pernah terhapus dari hati. Begitu juga dengan luka. Luka bisa sembuh tapi memori masih menampung banyak peristiwa.

Gw pernah memikirkan hal ini ketika sedang ngobrol di YM sama temen gw yang di Jakarta. Hayo, kerja kok ngobrol :) Dia melankolis nih, kangen sama temen yang ini dan temen yang itu. WAJARLAH. Mungkin proses adaptasi di lingkungan kerja baru dan kembali ke kota asal. Mungkin berhadapan dengan kenyataan membuat temen gw itu merindukan masa-masa konyol waktu kuliah, yang sebenernya bisa dikatakan sebagai masa santai dalam hidup. Betul ngga, Bu? Teman-teman, baik atau jahat – selalu ada di memori.

Dua minggu lalu dia dan beberapa teman lainnya baru diwisuda. Akhirnya! Waktu wisuda, ada dua temen gw yang lain – Arra dan Dina yang membuatkan sebuah video singkat. Sederhana juga sih, dadakan. Cuma foto-foto masa kuliah yang dikasih liat bareng lagu Graduation-nya Vitamin C. Simple but touchy. Gw adalah orang yang menyukai hari ini dan masa depan, gw ngga terlalu suka dengan masa lalu. Karena ngga bisa diubah. Memang ada beberapa hal indah di dalamnya, tapi ngga bisa diulang juga. Jadi gw suka hari ini karena gw hidup hari ini, dan gw suka masa depan karena di sana ada rencana dan harapan. Nah, video itu mampu membuat gw kembali ke masa lalu – reminiscing of those good old. Karena backsound-nya tentang persahabatan, hal itu pula yang mampir ke otak gw. Gw mulai mengingat-ingat hari-hari kemarin dan orang-orang yang ada di dalamnya. Ternyata lebih banyak teman yang menjejakkan kesan buruk di dalam hati gw, tapi seperti yang gw bilang – mereka ngga pernah bisa terhapus dari memori. Karena mereka pun pernah menabur kebaikan bagi hati kita. Ya kalo ngga, pasti musuhan.

Kenapa kita lebih mudah mengingat hal-hal buruk? Kenapa GW lebih mudah mengingat hal-hal buruk? Mungkin rasa sakit yang gw ingat, bukan tindakan mereka. Rasa sakit itu hilang, tapi kesan yang mereka berikan ngga. Nah, anehnya – tetep aja gw memasukkan beberapa teman tersebut ke dalam daftar orang penting di dalam cerita gw. Karena mereka mendewasakan hati gw. Hal-hal itu yang membuat gw hidup dan semakin dewasa sampai hari ini. Mereka membuat kita berkembang (gila, gw metal banget sehh! Melankolis gini). Ya, mungkin itu jawabannya. Alasan kita memilih beberapa teman terbaik dan menyimpan mereka di dalam kotak khusus dalam memori kita.

16 November 2008

faith like a virgin

There were times when it’s really hard for us to believe. To believe in our plan, to believe in our dreams, to believe in love, to believe in God, or even to believe in ourself. We know we have to believe to live, we should’ve believed in those things we’ve always believed but it is just so – HARD.

They’re just the moments we’ll always have in the line of our life. It’s like a test that this universe puts us in, just to reassure that we deserve the next stage of life. Because every higher platform that we could stage would be harder than before. I think there would never be the hardest stage, there would be just ‘it-feels-like-the-hardest’ stage because we would always face a harder one after that ‘it-feels-like-the-hardest’ stage.

To believe is the test we have to go through before facing the next stage, and the harder stage is another way to keep us believing – in the things our heart have always believed. That’s tough. Believing in something that will bring us to the next stage, while we don’t know whether that next stage would be better or worse yet. They would always be better. The higher the better, I think. The better the harder, though.

It is like believing in something we don’t see, or we’ve never seen. Then this is something that would be called FAITH, I think. A bigger faith would earn a bigger step. Well, if there were the hardest – the process would be, not the stage :) To have the faith and to keep believing – note this: in something we have never seen. Living by faith and not by sight – might be the hardest. But it will keep us ALIVE, that’s one thing I always believe. A winner would never be a winner if he/she has never seen him/herself in a winner stage before. Well, I think it’s worth it to keep believing in everything we have always believed – because, at least, they keep us alive.

“Losing your faith is a lot like losing your virginity, you don't realize how irritating it was 'til it's gone” - Unknown

cerita dari mimpi

1
Pengap masih saja singgah di beranda rumah tua ini, padahal bulan mulai sempurna. Rumah ini masih saja berdiri tegak, tiga puluh tahun. Tiga tahun pertama adalah tahun-tahun kebahagiaannya, sampai aku hadir, kemudian adikku, lalu adikku, dan adikku lagi. Dia masih saja tegak, berdiri setia menjadi saksi akan setiap transisi dalam diri kami. Dia memiliki semuanya – keindahan kami dan luka. Sampai malam ini.

Aku mulai menyilangkan kakiku, entah untuk yang keberapa kali. Aku berusaha memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-paruku. Entah kenapa, kali ini rumah tuaku tidak begitu bersahabat. Ingin keluar saja aku rasanya – pergi jauh dari rumah ini. Tidak. Aku ingin momen ini saja yang pergi jauh, jangan rumah ini. Terlalu banyak keindahan yang ia miliki untuk ditinggalkan. Aku masih terus berusaha berkonsentrasi. Aduh. Kalau bisa sekarang jadi lima tahun yang akan datang saja…

2
Alunan musik jazz terdengar sayup-sayup di telingaku. Perlahan aku jejakkan kakiku ke aspal. Semoga hatiku pun mau menjejak pasti di sini, semoga mereka masih sama seperti tahun-tahun yang lalu. Aku merapikan terusan putih gadingku sebelum melangkah bertemu kenyataan.

“Hey, Ray!” Fikalah yang pertama menyapaku. “Lama aja sih, Bu! Gua udah keburu mau balik ni.”
Aku tersenyum, “Yah, Fika! Ini gua langsung dari Bali, belum balik ke rumah malah!”
“Aduh, susah ya jadi ibu yang satu ini. Gua masih harus jemput Vincent di rumah nyokap nih.”
“Nah?! Susahan jadi lo kali! Baru jam segini udah harus cabut gara-gara anak.”
“Biarin! Yang penting hepi!”
“Haha, gila ya. Udah umur berapa si Vincent?”
“Enam.”
“Beuh, tua gua! Nikah juga lo ya sama si Bram.”
“Kan udah gua bilang Ray, dari dulu. Gua nggak bisa ngebayangin kalo harus jalan sama laki-laki lain.”
“Siap, Bu! Gih, ntar Bram kelamaan nunggu. Udah dijemput kan?”
“Yup. Tuh di sana ada Ella sama Tania – ada Debby juga,” Fika menunjuk ke arah bangku di sudut ruangan – tepat di sebelah rangkaian bunga mawar putih.

Aku berjalan ke arah Ella dan Tania sambil memperhatikan seisi ruangan ini. Senyum pun tak mampu kusembunyikan. Tidak mungkin orang lain yang mengerjakan semuanya ini, pikirku. Pasti Debby. Si selalu eksis dan sibuk. Ruangan dan dekorasi, acara dan hidangan, undangan dan semua kenangan. Termasuk mawar putih, itu kesukaannya. Aku kembali tersenyum.

“Hey, hey…!” Aku tersenyum sumringah melihat teman-teman lamaku. Ella, Tania, dan Debby.
“Rayaaaaa!” Debby berteriak kencang. Dia selalu bersemangat dan penuh kejutan. Dia teman yang selalu bisa diandalkan. Betapa tidak, jilbab yang menutupi kepalanya tak mampu menutupi kelakuan aslinya: preman :) Sedikit sulit membayangkan Debby yang sekarang sudah memiliki dua anak. Masih dengan dirinya yang penuh semangat dan gairah.
“Kirain nggak jadi ikut reuni!” celetuk Tania.
“Bu, Bali itu beda sama Jakarta!”
“Lah emang! Pernyataan lo masih aja bodoh, Ray!” Nah, yang ini Ella. Salah satu sahabat dan kakak terbaik. Dia yang selalu mendukung, walau ia pun tak yakin akan kemampuannya. Dia selalu mendukung aku dan yang lainnya untuk mendapatkan yang terbaik. Perilaku dan pola pikirnya kadang seringkali di luar bayangan kami, terlalu melankolis dan di lain waktu terlalu berani. Aku tersenyum menyambut dirinya yang sudah mendapatkan kebahagiaan. Perutnya kelihatan besar.
“Udah hamil lagi lo, La! Rajin banget!”
“Yang penting halal!” sahut Ella – asal.
“Loh, Anya mana?” Anya tidak secantik namanya tapi hatinya begitu cantik. Dia manis dan kemayu, hanya saja dulu waktu kami masih kuliah – dia sembrono. Hampir setiap laki-laki berteman baik dengan Anya. Sekarang Anya masih manis dan kemayu, hanya saja sekarang dia tidak sembrono lagi. Dia sedang membawa anaknya yang akan keluar bulan depan kata dokter. Aku tersenyum, membayangkan dua Anya – yang dulu dan sekarang.
“Lama sih lo, Bu! Udah balik.” Tania menjawabku. Tania, si paling cantik dari antara kami semua. Jangan dipertanyakan statusnya – jago masak, jago dandan, jago jahit. Pasti menikah muda!
“Besok kita jalan barenglah. Lo sempet ketemu Fika, kan?”
“Iya, gua janjian besok sama Fika. Repot ya, yang udah pada punya buntut.”
“Lah lo? Masih betah nggak punya buntut.”
Coba berhenti di sini. Semua karena lima tahun lalu yang tak pernah aku sesali. Lima tahun yang lalu ketika aku begitu berharap bisa pindah ke masa yang akan datang. Lima tahun lalu yang masih suka mengundangku merindukan tahun-tahun sebelumnya. Saat semua masih begitu indah dan naif. Keindahan yang tanpa sesal kulepas karena kenaifan yang mengajakku bercumbu dengan mimpi. Mimpi-mimpi yang tidak pernah aku lepas, sampai hari ini. Saat bermimpi aku tahu harus melepas kenyataan. Itu pilihanku – yang membawaku sampai hari ini. Tanpa sesal.

“Lo udah makan, Ray?” tanya Debby.
“Udah sih, bukan nasi. Jadi kenyangnya nggak terlalu nendang.”
“Jalan-jalan dulu gih lo… Sapa-sapa sana-sini.”
“Angkatan lain juga ada,” serobot Tania.
“Tania! I believe that ‘angkatan lain’ refers to someone,” aku tersenyum geli.
Tania mengangguk sambil menegaskan, “You’ll see, Hon…”

Aku mulai bertegur sapa dengan beberapa sahabat lama. Sepuluh tahun setelah kelulusanku tersa begitu cepat. Aku terlambat lulus setahun. Berarti sebelas tahun setelah angkatanku. Ada dua angkatan di atas kami dan dua angkatan di bawah kami di dalam reuni ini. Lelah di tubuhku tidak kurasakan lagi. Tidak ada kebahagiaan yang mampu menggantikan rindu yang terlepas. Semua kenangan dan kejutan memenuhi ruangan ini. Aku dan sahabat-sahabatku, kami semua ada di dalam satu ruangan – kembali kepada masa di mana kami menggenggam kebersamaan begitu erat, sampai hari di mana kami melepasnya demi cita.

Aku baru saja selesai dengan Billy dan Sheila. Akhirnya mereka menikah, tiga tahun yang lalu di Bandung. Sekarang sedang menunggu kelahiran anak kedua. Mereka menjalin kasih sejak kami kuliah – di Bandung. Aku tidak menghadiri pernikahan mereka. Empat tahun terakhir kuhabiskan di Bali. Empat tahun aku membangun mimpi baru dan membuang semua rindu. Empat tahun terakhir kuhabiskan dengan bekerja. Empat tahun untuk Bali, Milan, dan London tidak pernah membosankan bagiku. Kebahagiaanku adalah pekerjaanku, karena aku tahu aku tengah berjalan menuju mimpiku. Lima tahun yang lalu aku melepas semua yang aku miliki di Jakarta. Mimpi yang bertahun-tahun kususun rapi antara Jakarta dan Bandung. Aku di Jakarta dan dia di Bandung. Kami susun rapi semuanya, dan kami tinggalkan begitu saja. Aku tersenyum. Aku tidak menyesal. Karena aku tengah berjalan menuju mimpiku.

Aku kembali berjalan menuju teman-temanku, sampai seorang pelayan lewat di hadapanku. Ia berhenti menawarkan cocktail. Aku tidak mampu bertahan membaui aroma alkohol dari dalam cocktail, aku pun mengambil segelas. Beberapa teguk langsung mendarat di kerongkonganku, pelayan itu berlalu – dan aku pun bertemu dengan kenyataan.

3
Suara ketuk jariku tak mampu memecahkan ketegangan antara aku dan dirinya. Rasa pengap ini semakin tidak tertahankan. Dia masih diam saja – selalu diam. Mataku mulai hangat. Kenapa dia masih saja diam? Rumah tua ini semakin tidak bersahabat – pikirku. Aku menghela napas untuk yang kesekian kali. Dia masih diam. Sedikit berharap aku memandangi wajahnya. Berharap masih ada sedikit rasa yang akan diungkap.
“Jadi gimana, Fi?” Dia Rafi, mimpi dalam kenyataanku. Kadang dia menjadi kenyataan yang tak seberapa di dalam indah mimpiku.

Dia seperti matahari bagiku, dia adalah pagiku. Dia selalu membawakan harapan baru bagiku. Dia selalu menjadi mimpiku beberapa tahun terakhir, dia yang membawaku ke dalam kesadaran – akan mimpiku yang semula. Aku selalu ingin bermimpi walau seringkali mimpi itu lepas dari genggamku. Mimpiku dan Rafi tidak selalu indah, seringkali kami berhenti bermimpi dan bertemu kenyataan. Seperti saat ini.

“Kenyataannya Kamu lebih sayang mimpi-mimpi kamu,” kata-kata Rafi mendadak mengurangi udara yang ada di dalam kepalaku.
“Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Jadi KITA gimana, Fi?”
“Kamu lebih sayang mimpi-mimpi Kamu, Raya.”
“Aku bicara tentang kita bukan tentang aku.”
“Aku tidak tahu harus bicara apa.” Selalu seperti ini.
“Aku sudah terlalu sering bicara, Fi. Sekarang giliran Kamu.”

Ini adalah tahun kedelapan bagiku dan Rafi. Delapan tahun yang lalu kami memulai semuanya di Bandung, saat kami masih begitu lugu dan penuh cinta. Cuma keindahan yang kami lihat, tidak ada luka. Sesekali kami terjatuh namun dengan cepat kami bangun. Kadang kami tersesat tapi kami kembali bertemu – bersama di jalan. Kami sepakat. Setidaknya pada tahun-tahun tersebut. Delapan tahun yang terlalu kucintai untuk kutinggalkan. Tetap saja aku tiba di sini. Rafi tidak pernah berubah. Dunia selalu berjalan perlahan baginya, hatinya bagaikan samudera – selalu luas dan ingin bebas. Aku bukan tidak pernah menyadarinya – duniaku berbeda dengannya. Duniaku selalu berlari, dinamis dan progresif. Ternyata delapan tahun mimpi kami tidak mampu mempercepat dunianya, atau memperlambat duniaku. Aku semakin ingin cepat, dan dia masih selalu seperti delapan tahun yang lalu. Rafi dan Raya adalah pasangan kekasih yang sepadan, tapi bukan pasangan hidup yang seimbang – begitu canda teman-teman kami. Sepertinya mereka benar.

“Delapan tahun ini, kamu tidak pernah bicara tentang kita.”
“…”
“Kalau Kamu nggak tahu mau bicara apa, aku juga.”
“Kata-katamu selalu mengosongkan pikiranku, Raya!”
“Kelakuanmu selalu memenuhi pikiranku. Sampai tumpah!”
“Aku nggak ingin bertengkar, Ray.”
“Aku sayang kamu, Rafi.”
“Raya…”
“Jadi?”
“Kamu selalu keras kepala. Siapapun nggak ada yang bisa melawanmu.”
“Kamu.”
Rafi tersenyum. Senyumnya selalu membuatku tertawa – delapan tahun, tapi tidak malam ini.

Ternyata cintaku cuma seluas delapan tahun, itulah ukuran hatiku. Habis sudah kesabaranku. Teman-teman perempuanku selalu berkata kesabaranku berlebihan, bertahun-tahun tanpa kepastian – cuma mengalir. Hanya perempuan keras kepala dengan cinta yang besar mampu bertahan dalam ketidakpastian selama itu. Aku perempuan keras kepala kata Rafi. Tidak pernah mau melepas keinginan sebelum aku mendapatkannya, tapi aku panjang sabar. Tetap saja aku perempuan. Tidak berlebihan jika teman-temanku menyebut Rafi beruntung – mendapatkan perempuan sesabar aku. Berkali-kali mereka menyuruhku meninggalkan Rafi, karena mereka tahu aku bisa dapat laki-laki lain yang jauh lebih baik. Aku pun tahu itu. Hatiku tidak seluas itu. Seringkali aku mengeluh. Rafi tidak pernah tahu. Dia tak perlu tahu, pikirku. Aku pikir delapan tahun air mataku tidak akan berakhir sia-sia, ternyata aku salah. Di sini kami berakhir. Tidak ada lagi air mata.

“Aku juga sayang Kamu, Raya,” Rafi mencium keningku perlahan.
Aku tersenyum pahit, “Jadi berapa delapan tahun lagi yang harus kita lalui seperti ini?”
“Raya…”
“Aku nggak berkembang, Rafi. Tiga tahun terakhir ini, aku begitu lelah!”
“Apa Kamu nggak bisa sabar?”
“Kamu terlalu lamban!” aku tak mampu menahan tangisku.
“Rafi, kalau kamu seperti ini terus – aku akan masih di sini delapan tahun yang akan datang. Aku nggak bisa.”
“Jadi kamu mau apa, Raya?”
Tangisku benar-benar pecah. Bagaimana pun aku perempuan. Setelah delapan tahun, aku cuma mau mendengar perkataan seorang laki-laki yang kuat mencintaiku. Ternyata Rafi tidak sekuat itu. Berkali-kali aku memberinya kesempatan, namun dia tidak pernah berubah. Dia tidak pernah menghargainya. Mungkin aku menerjemahkan sikapnya dengan salah. Aku sudah lelah mengajaknya berbicara tentang KAMI. Aku mau dia yang bicara – kali ini.
“Aku mau putus, untuk yang terakhir kali. Aku mau berkembang.”
“Ya sudah kalau begitu…”

4
Di sana dia berdiri, tidak sendiri. Aku tersenyum – tulus dan tanpa sesal. Aku masih begitu mencintainya. Anehnya tidak sedikit pun rasa hangat ada di mataku.
“Hey, Fi.”
“Hey…” dia tersenyum kecut. Sekilas matanya melirik ke arah perempuan yang berdiri di sebelahnya. Perempuan itu tersenyum, jelita.
“Apa kabar?”
“Baik, Ray. Kenalin, ini Nawang.”
Perempuan muda itu tersenyum mengulurkan tangannya padaku. Aku tersenyum lebar menyambut tangannya
“Nawang,” dia memperkenalkan dirinya – malu-malu.
“Raya.”
Aku kembali tersenyum kepada Rafi, “Kapan nikahnya? Muda banget istri Kamu!”
Rafi tertawa – masih seperti dulu, “Tahun lalu, Ray. Iya, dia delapan tahun lebih muda.”
Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihat kenyataanku yang begitu bahagia. Entah kenapa, sulit sekali tersenyum tulus baginya – senyumnya begitu kecut. Terkadang pahit, canggung tak bisa ia hindarkan. Aku perhatikan kebahagiaannya. Seorang perempuan belia berambut panjang. Begitu sederhana dan pemalu. Calon ibu yang sempurna. Lemah lembut dan penurut, pikirku.
“Kamu? Datang sendiri, Ray?”
Aku mengangguk.
“Suami Kamu?”
“Suami?”
Wajah Rafi bertanya-tanya.
“Belum punya,” jawabku tersenyum. “Aku masih sendirian.”
Rafi sedikit kaget melihatku, dan bingung.
Iya. Dari lima tahun yang lalu. Masih begini aja.”
Ia masih saja menatapku. Aku begitu merindukannya.
“Aku hidup bersama mimpiku. Aku mencintai mimpi-mimpiku,” aku tertawa lepas.
Rafi bingung.
“Makasih ya, Fi…”
“Buat apa?”
“Kesempatan.”
“…”
“Kebebasan.”
“…”
“…dan kemauanmu untuk mendapat bahagia,” aku tersenyum melirik Nawang. Perempuan yang begitu sederhana, jauh berbeda dengan diriku. Dia begitu naif – dan tulus. Lembut, tidak keras kepala sepertiku. Mungkin Rafi tidak perlu kewalahan menghadapinya. Dulu Rafi bilang aku tantangan, yang akhirnya berubah jadi rintangan. Aku terlalu kuat.
“Raya…”
Aku tersenyum, membayangkan lima tahun yang lalu. Saat dirinya memilih untuk melepaskanku. Pergi bersama mimpi-mimpiku. Aku lebih sayang mimpi-mimpiku, bukan Rafi. Aku tidak pernah menyesal. Aku tahu dia begitu mencintaiku, sehingga rela melepaskanku.
“Iya?”
Rafi tersenyum. Kecut. Matanya bicara, dan aku mengerti. Aku tetap tidak menyesal. Aku masih begitu merindukan mata itu. Rafi berbicara, “Aku pulang ya.”
Aku menjawabnya dengan senyum – tulus.

Nothing seems interesting when it belongs to you, only when it doesn't. (Natalie Babbitt)

in love with karl

I’m in love with Karl Lagerfeld!

Karena dia bilang: “I never smoked. I never drank and I never took drugs. The funny thing is, nothing is more boring, people like this. For me, it’s OK. But most of my friends, at least they smoke and drink.” Di kesempatan lain dia bilang, “No, and I never, ever eat in between the meals. I control it well enough and with no pills, and I sleep seven hours a night. I go to bed. I fall asleep, and I wake up seven hours later, and this is the most important.” Tentang dietnya dia bilang, “I eat fish, three times a week meat, and if not yogurt, something like this and it rarely continues.”

That’s how he works out his life. SANGAT TERATUR. Gw rasa jarang ada designer (fashion, graphic, interior, dst) yang hidup seteratur dan sangat terencana seperti ini. Seengga-engganya, ya merokok dan begadang. Ini dia yang lucu. Designer bekerja merancang dan mernecanakan hal-hal, buat orang lain pada umumnya tapi hidupnya sendiri ngga dipikirin. Dalihnya sih apsti karena karya – mau memberikan karya yang optimal. Demi karya ngorbanin diri sendiri. Fuck off ahhh.

Dulu gw juga pernah kaya gitu, sampe akhirnya gw sakit :) Pola makan ngga teratur bikin gw sakit usus buntu. Makanan yang ngga sehat bikin gw sempet punya kista. Jadwal hidup yang ngga teratur bikin gw kena typhus bolak-balik. Kerja terlalu keras demi idealisme dan perfeksionisme diri sendiri membuat gw kenal infeksi ginjal ringan. Memang daya tahan tubuh yang udah lemah dari sananya sangat berpengaruh sih, cuma seharusnya gw sadar bahwa gw punya daya tahan tubuh yang lemah dan benar-benar menjaga kesehatan gw. Kesehatan dan kehidupan ngga seimbang kalo hanya dipertaruhkan buat pekerjaan.

Sekarang yang bikin gw bingung, kenapa malah tambah banyak orang yang merokok ya akhir-akhir ini? Banyak yang berhenti tapi lebih banyak lagi yang mulai. Gw pernah bermain bersama teman-teman di Jakarta, duduk-duduk – nongkrong (halah!). Ya pokoknya melakukan kegiatan anak muda di malam minggu yang ngga guna sebenernya. Dibilang refreshing, ya orang hampir setiap hari juga nongkrong! Kita semua udah kecapean dan suasana hati lagi ngga enak. Mulailah satu per satu mengeluarkan kotak rokok, menyulut, menghisap. Kita berenam waktu itu, lima perempuan dan satu laki-laki. Semuanya ngerokok kecuali gw. Semua sibuk menikmati batang rokoknya kecuali gw. Akhirnya gw dengan sedikit BT dan ngantuk, harus menghisap asap rokok dari lima orang. Selesai dari situ, gw pergi dengan tiga orang teman lagi. Dua laki-laki dan dua perempuan termasuk gw. Biasa, ngopi-ngopi sambil sok wifi-an (ah, bergaul sekali). Membuang waktu menunggu tengah malam, untuk dilanjutkan dengan berbagai kegiatan yang lebih seru. Sialnya, kejadian sebelumnya terulang! Dua dari kami merokok, satu sedang tidak ingin merokok – dia cuma social smoker, sedangkan gw ngga merokok dan (tentu saja) bukan perokok! Lagi-lagi gw stuck harus menikmati asap rokok saja yang pelan-pelan masuk ke paru-paru sambil melihat mereka yang begitu menikmati batangannya. Gw rasa pengalaman-pengalaman seperti ini yang membuat orang-orang yang ngga merokok jadi ingin merokok. We suddenly think that we need to smoke for socializing, atau kita harus diam saja dan menghisap semua asap. Belum lagi kalo clubbing, ngga cuma sepuluh atau dua puluh. Ratusan orang yang merokok harus kita hirup asapnya, kalau kita ngga merokok.

Itu baru dari merokok. Bergadang pun sama sepertinya. Semakin malam obrolan semakin hangat, yang tadinya ngga pernah bergadang mulai ingin tidur larut malam. Walau kata-kata “payah udah ngantuk jam segini” ngga terlalu berasa di hati, tapi ternyata efek mentalnya cukup kuat kalau diperdengarkan terus-menerus. Hahaha… Susahnya lagi, jam kosong biasanya emang malam. Kita dan teman-teman baru bisa ngobrol santai dan fellowship waktu makan malam ke atas. Dari yang rencananya diskusi tentang kerjaan sampe akhirnya membuang waktu tanpa menghasilkan apa-apa. Ngga terlalu efisien dan ngga produktif sebenernya, tapi ngga ngerti juga kenapa banyak orang yang rela melakukan hal-hal seperti itu. Emang sih, ide bisa muncul tiba-tiba tapi gw rasa jarang juga pas lagi ngobrol rame-rame. Tetep aja pas sendiri. Mungkin obrolan jadi pemancing, cuma ngga hampir tiap hari juga kali yaa… Mengurangi waktu tidur demi sosialisasi – ngga keren ah. Besok paginya ngga seger, masih ngantuk, bahkan bisa telat.

Ya intinya sih pola hidup. Kalo ngomongin kerugiannya ngga perlu panjang lebar pasti udah sebagian besar orang yang melakukan pola hidup ngga sehat pun tau resikonya. Emang ngga ada yang gratis di dunia! Mau bergaul dan eksis harus mengorbankan pola hidup sehat, mau sehat harus mengorbankan komunitas dan pola hidup ‘asik’. Hahaha… Mungkin yang paling berat adalah melihat diri kita sebagai orang yang membosankan, kaya yang dibilang Lagerfeld: The funny thing is, nothing is more boring, people like this. Hahaha… Ya mungkin beberapa dari antara kita adalah orang-orangy ang sangat membosankan buat kebanyakan orang, tapi kita menjalankannya karena tau tujuan kita di akhir :) Ngga ada yang gratis di dunia ini hehe