16 November 2008

cerita dari mimpi

1
Pengap masih saja singgah di beranda rumah tua ini, padahal bulan mulai sempurna. Rumah ini masih saja berdiri tegak, tiga puluh tahun. Tiga tahun pertama adalah tahun-tahun kebahagiaannya, sampai aku hadir, kemudian adikku, lalu adikku, dan adikku lagi. Dia masih saja tegak, berdiri setia menjadi saksi akan setiap transisi dalam diri kami. Dia memiliki semuanya – keindahan kami dan luka. Sampai malam ini.

Aku mulai menyilangkan kakiku, entah untuk yang keberapa kali. Aku berusaha memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-paruku. Entah kenapa, kali ini rumah tuaku tidak begitu bersahabat. Ingin keluar saja aku rasanya – pergi jauh dari rumah ini. Tidak. Aku ingin momen ini saja yang pergi jauh, jangan rumah ini. Terlalu banyak keindahan yang ia miliki untuk ditinggalkan. Aku masih terus berusaha berkonsentrasi. Aduh. Kalau bisa sekarang jadi lima tahun yang akan datang saja…

2
Alunan musik jazz terdengar sayup-sayup di telingaku. Perlahan aku jejakkan kakiku ke aspal. Semoga hatiku pun mau menjejak pasti di sini, semoga mereka masih sama seperti tahun-tahun yang lalu. Aku merapikan terusan putih gadingku sebelum melangkah bertemu kenyataan.

“Hey, Ray!” Fikalah yang pertama menyapaku. “Lama aja sih, Bu! Gua udah keburu mau balik ni.”
Aku tersenyum, “Yah, Fika! Ini gua langsung dari Bali, belum balik ke rumah malah!”
“Aduh, susah ya jadi ibu yang satu ini. Gua masih harus jemput Vincent di rumah nyokap nih.”
“Nah?! Susahan jadi lo kali! Baru jam segini udah harus cabut gara-gara anak.”
“Biarin! Yang penting hepi!”
“Haha, gila ya. Udah umur berapa si Vincent?”
“Enam.”
“Beuh, tua gua! Nikah juga lo ya sama si Bram.”
“Kan udah gua bilang Ray, dari dulu. Gua nggak bisa ngebayangin kalo harus jalan sama laki-laki lain.”
“Siap, Bu! Gih, ntar Bram kelamaan nunggu. Udah dijemput kan?”
“Yup. Tuh di sana ada Ella sama Tania – ada Debby juga,” Fika menunjuk ke arah bangku di sudut ruangan – tepat di sebelah rangkaian bunga mawar putih.

Aku berjalan ke arah Ella dan Tania sambil memperhatikan seisi ruangan ini. Senyum pun tak mampu kusembunyikan. Tidak mungkin orang lain yang mengerjakan semuanya ini, pikirku. Pasti Debby. Si selalu eksis dan sibuk. Ruangan dan dekorasi, acara dan hidangan, undangan dan semua kenangan. Termasuk mawar putih, itu kesukaannya. Aku kembali tersenyum.

“Hey, hey…!” Aku tersenyum sumringah melihat teman-teman lamaku. Ella, Tania, dan Debby.
“Rayaaaaa!” Debby berteriak kencang. Dia selalu bersemangat dan penuh kejutan. Dia teman yang selalu bisa diandalkan. Betapa tidak, jilbab yang menutupi kepalanya tak mampu menutupi kelakuan aslinya: preman :) Sedikit sulit membayangkan Debby yang sekarang sudah memiliki dua anak. Masih dengan dirinya yang penuh semangat dan gairah.
“Kirain nggak jadi ikut reuni!” celetuk Tania.
“Bu, Bali itu beda sama Jakarta!”
“Lah emang! Pernyataan lo masih aja bodoh, Ray!” Nah, yang ini Ella. Salah satu sahabat dan kakak terbaik. Dia yang selalu mendukung, walau ia pun tak yakin akan kemampuannya. Dia selalu mendukung aku dan yang lainnya untuk mendapatkan yang terbaik. Perilaku dan pola pikirnya kadang seringkali di luar bayangan kami, terlalu melankolis dan di lain waktu terlalu berani. Aku tersenyum menyambut dirinya yang sudah mendapatkan kebahagiaan. Perutnya kelihatan besar.
“Udah hamil lagi lo, La! Rajin banget!”
“Yang penting halal!” sahut Ella – asal.
“Loh, Anya mana?” Anya tidak secantik namanya tapi hatinya begitu cantik. Dia manis dan kemayu, hanya saja dulu waktu kami masih kuliah – dia sembrono. Hampir setiap laki-laki berteman baik dengan Anya. Sekarang Anya masih manis dan kemayu, hanya saja sekarang dia tidak sembrono lagi. Dia sedang membawa anaknya yang akan keluar bulan depan kata dokter. Aku tersenyum, membayangkan dua Anya – yang dulu dan sekarang.
“Lama sih lo, Bu! Udah balik.” Tania menjawabku. Tania, si paling cantik dari antara kami semua. Jangan dipertanyakan statusnya – jago masak, jago dandan, jago jahit. Pasti menikah muda!
“Besok kita jalan barenglah. Lo sempet ketemu Fika, kan?”
“Iya, gua janjian besok sama Fika. Repot ya, yang udah pada punya buntut.”
“Lah lo? Masih betah nggak punya buntut.”
Coba berhenti di sini. Semua karena lima tahun lalu yang tak pernah aku sesali. Lima tahun yang lalu ketika aku begitu berharap bisa pindah ke masa yang akan datang. Lima tahun lalu yang masih suka mengundangku merindukan tahun-tahun sebelumnya. Saat semua masih begitu indah dan naif. Keindahan yang tanpa sesal kulepas karena kenaifan yang mengajakku bercumbu dengan mimpi. Mimpi-mimpi yang tidak pernah aku lepas, sampai hari ini. Saat bermimpi aku tahu harus melepas kenyataan. Itu pilihanku – yang membawaku sampai hari ini. Tanpa sesal.

“Lo udah makan, Ray?” tanya Debby.
“Udah sih, bukan nasi. Jadi kenyangnya nggak terlalu nendang.”
“Jalan-jalan dulu gih lo… Sapa-sapa sana-sini.”
“Angkatan lain juga ada,” serobot Tania.
“Tania! I believe that ‘angkatan lain’ refers to someone,” aku tersenyum geli.
Tania mengangguk sambil menegaskan, “You’ll see, Hon…”

Aku mulai bertegur sapa dengan beberapa sahabat lama. Sepuluh tahun setelah kelulusanku tersa begitu cepat. Aku terlambat lulus setahun. Berarti sebelas tahun setelah angkatanku. Ada dua angkatan di atas kami dan dua angkatan di bawah kami di dalam reuni ini. Lelah di tubuhku tidak kurasakan lagi. Tidak ada kebahagiaan yang mampu menggantikan rindu yang terlepas. Semua kenangan dan kejutan memenuhi ruangan ini. Aku dan sahabat-sahabatku, kami semua ada di dalam satu ruangan – kembali kepada masa di mana kami menggenggam kebersamaan begitu erat, sampai hari di mana kami melepasnya demi cita.

Aku baru saja selesai dengan Billy dan Sheila. Akhirnya mereka menikah, tiga tahun yang lalu di Bandung. Sekarang sedang menunggu kelahiran anak kedua. Mereka menjalin kasih sejak kami kuliah – di Bandung. Aku tidak menghadiri pernikahan mereka. Empat tahun terakhir kuhabiskan di Bali. Empat tahun aku membangun mimpi baru dan membuang semua rindu. Empat tahun terakhir kuhabiskan dengan bekerja. Empat tahun untuk Bali, Milan, dan London tidak pernah membosankan bagiku. Kebahagiaanku adalah pekerjaanku, karena aku tahu aku tengah berjalan menuju mimpiku. Lima tahun yang lalu aku melepas semua yang aku miliki di Jakarta. Mimpi yang bertahun-tahun kususun rapi antara Jakarta dan Bandung. Aku di Jakarta dan dia di Bandung. Kami susun rapi semuanya, dan kami tinggalkan begitu saja. Aku tersenyum. Aku tidak menyesal. Karena aku tengah berjalan menuju mimpiku.

Aku kembali berjalan menuju teman-temanku, sampai seorang pelayan lewat di hadapanku. Ia berhenti menawarkan cocktail. Aku tidak mampu bertahan membaui aroma alkohol dari dalam cocktail, aku pun mengambil segelas. Beberapa teguk langsung mendarat di kerongkonganku, pelayan itu berlalu – dan aku pun bertemu dengan kenyataan.

3
Suara ketuk jariku tak mampu memecahkan ketegangan antara aku dan dirinya. Rasa pengap ini semakin tidak tertahankan. Dia masih diam saja – selalu diam. Mataku mulai hangat. Kenapa dia masih saja diam? Rumah tua ini semakin tidak bersahabat – pikirku. Aku menghela napas untuk yang kesekian kali. Dia masih diam. Sedikit berharap aku memandangi wajahnya. Berharap masih ada sedikit rasa yang akan diungkap.
“Jadi gimana, Fi?” Dia Rafi, mimpi dalam kenyataanku. Kadang dia menjadi kenyataan yang tak seberapa di dalam indah mimpiku.

Dia seperti matahari bagiku, dia adalah pagiku. Dia selalu membawakan harapan baru bagiku. Dia selalu menjadi mimpiku beberapa tahun terakhir, dia yang membawaku ke dalam kesadaran – akan mimpiku yang semula. Aku selalu ingin bermimpi walau seringkali mimpi itu lepas dari genggamku. Mimpiku dan Rafi tidak selalu indah, seringkali kami berhenti bermimpi dan bertemu kenyataan. Seperti saat ini.

“Kenyataannya Kamu lebih sayang mimpi-mimpi kamu,” kata-kata Rafi mendadak mengurangi udara yang ada di dalam kepalaku.
“Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Jadi KITA gimana, Fi?”
“Kamu lebih sayang mimpi-mimpi Kamu, Raya.”
“Aku bicara tentang kita bukan tentang aku.”
“Aku tidak tahu harus bicara apa.” Selalu seperti ini.
“Aku sudah terlalu sering bicara, Fi. Sekarang giliran Kamu.”

Ini adalah tahun kedelapan bagiku dan Rafi. Delapan tahun yang lalu kami memulai semuanya di Bandung, saat kami masih begitu lugu dan penuh cinta. Cuma keindahan yang kami lihat, tidak ada luka. Sesekali kami terjatuh namun dengan cepat kami bangun. Kadang kami tersesat tapi kami kembali bertemu – bersama di jalan. Kami sepakat. Setidaknya pada tahun-tahun tersebut. Delapan tahun yang terlalu kucintai untuk kutinggalkan. Tetap saja aku tiba di sini. Rafi tidak pernah berubah. Dunia selalu berjalan perlahan baginya, hatinya bagaikan samudera – selalu luas dan ingin bebas. Aku bukan tidak pernah menyadarinya – duniaku berbeda dengannya. Duniaku selalu berlari, dinamis dan progresif. Ternyata delapan tahun mimpi kami tidak mampu mempercepat dunianya, atau memperlambat duniaku. Aku semakin ingin cepat, dan dia masih selalu seperti delapan tahun yang lalu. Rafi dan Raya adalah pasangan kekasih yang sepadan, tapi bukan pasangan hidup yang seimbang – begitu canda teman-teman kami. Sepertinya mereka benar.

“Delapan tahun ini, kamu tidak pernah bicara tentang kita.”
“…”
“Kalau Kamu nggak tahu mau bicara apa, aku juga.”
“Kata-katamu selalu mengosongkan pikiranku, Raya!”
“Kelakuanmu selalu memenuhi pikiranku. Sampai tumpah!”
“Aku nggak ingin bertengkar, Ray.”
“Aku sayang kamu, Rafi.”
“Raya…”
“Jadi?”
“Kamu selalu keras kepala. Siapapun nggak ada yang bisa melawanmu.”
“Kamu.”
Rafi tersenyum. Senyumnya selalu membuatku tertawa – delapan tahun, tapi tidak malam ini.

Ternyata cintaku cuma seluas delapan tahun, itulah ukuran hatiku. Habis sudah kesabaranku. Teman-teman perempuanku selalu berkata kesabaranku berlebihan, bertahun-tahun tanpa kepastian – cuma mengalir. Hanya perempuan keras kepala dengan cinta yang besar mampu bertahan dalam ketidakpastian selama itu. Aku perempuan keras kepala kata Rafi. Tidak pernah mau melepas keinginan sebelum aku mendapatkannya, tapi aku panjang sabar. Tetap saja aku perempuan. Tidak berlebihan jika teman-temanku menyebut Rafi beruntung – mendapatkan perempuan sesabar aku. Berkali-kali mereka menyuruhku meninggalkan Rafi, karena mereka tahu aku bisa dapat laki-laki lain yang jauh lebih baik. Aku pun tahu itu. Hatiku tidak seluas itu. Seringkali aku mengeluh. Rafi tidak pernah tahu. Dia tak perlu tahu, pikirku. Aku pikir delapan tahun air mataku tidak akan berakhir sia-sia, ternyata aku salah. Di sini kami berakhir. Tidak ada lagi air mata.

“Aku juga sayang Kamu, Raya,” Rafi mencium keningku perlahan.
Aku tersenyum pahit, “Jadi berapa delapan tahun lagi yang harus kita lalui seperti ini?”
“Raya…”
“Aku nggak berkembang, Rafi. Tiga tahun terakhir ini, aku begitu lelah!”
“Apa Kamu nggak bisa sabar?”
“Kamu terlalu lamban!” aku tak mampu menahan tangisku.
“Rafi, kalau kamu seperti ini terus – aku akan masih di sini delapan tahun yang akan datang. Aku nggak bisa.”
“Jadi kamu mau apa, Raya?”
Tangisku benar-benar pecah. Bagaimana pun aku perempuan. Setelah delapan tahun, aku cuma mau mendengar perkataan seorang laki-laki yang kuat mencintaiku. Ternyata Rafi tidak sekuat itu. Berkali-kali aku memberinya kesempatan, namun dia tidak pernah berubah. Dia tidak pernah menghargainya. Mungkin aku menerjemahkan sikapnya dengan salah. Aku sudah lelah mengajaknya berbicara tentang KAMI. Aku mau dia yang bicara – kali ini.
“Aku mau putus, untuk yang terakhir kali. Aku mau berkembang.”
“Ya sudah kalau begitu…”

4
Di sana dia berdiri, tidak sendiri. Aku tersenyum – tulus dan tanpa sesal. Aku masih begitu mencintainya. Anehnya tidak sedikit pun rasa hangat ada di mataku.
“Hey, Fi.”
“Hey…” dia tersenyum kecut. Sekilas matanya melirik ke arah perempuan yang berdiri di sebelahnya. Perempuan itu tersenyum, jelita.
“Apa kabar?”
“Baik, Ray. Kenalin, ini Nawang.”
Perempuan muda itu tersenyum mengulurkan tangannya padaku. Aku tersenyum lebar menyambut tangannya
“Nawang,” dia memperkenalkan dirinya – malu-malu.
“Raya.”
Aku kembali tersenyum kepada Rafi, “Kapan nikahnya? Muda banget istri Kamu!”
Rafi tertawa – masih seperti dulu, “Tahun lalu, Ray. Iya, dia delapan tahun lebih muda.”
Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihat kenyataanku yang begitu bahagia. Entah kenapa, sulit sekali tersenyum tulus baginya – senyumnya begitu kecut. Terkadang pahit, canggung tak bisa ia hindarkan. Aku perhatikan kebahagiaannya. Seorang perempuan belia berambut panjang. Begitu sederhana dan pemalu. Calon ibu yang sempurna. Lemah lembut dan penurut, pikirku.
“Kamu? Datang sendiri, Ray?”
Aku mengangguk.
“Suami Kamu?”
“Suami?”
Wajah Rafi bertanya-tanya.
“Belum punya,” jawabku tersenyum. “Aku masih sendirian.”
Rafi sedikit kaget melihatku, dan bingung.
Iya. Dari lima tahun yang lalu. Masih begini aja.”
Ia masih saja menatapku. Aku begitu merindukannya.
“Aku hidup bersama mimpiku. Aku mencintai mimpi-mimpiku,” aku tertawa lepas.
Rafi bingung.
“Makasih ya, Fi…”
“Buat apa?”
“Kesempatan.”
“…”
“Kebebasan.”
“…”
“…dan kemauanmu untuk mendapat bahagia,” aku tersenyum melirik Nawang. Perempuan yang begitu sederhana, jauh berbeda dengan diriku. Dia begitu naif – dan tulus. Lembut, tidak keras kepala sepertiku. Mungkin Rafi tidak perlu kewalahan menghadapinya. Dulu Rafi bilang aku tantangan, yang akhirnya berubah jadi rintangan. Aku terlalu kuat.
“Raya…”
Aku tersenyum, membayangkan lima tahun yang lalu. Saat dirinya memilih untuk melepaskanku. Pergi bersama mimpi-mimpiku. Aku lebih sayang mimpi-mimpiku, bukan Rafi. Aku tidak pernah menyesal. Aku tahu dia begitu mencintaiku, sehingga rela melepaskanku.
“Iya?”
Rafi tersenyum. Kecut. Matanya bicara, dan aku mengerti. Aku tetap tidak menyesal. Aku masih begitu merindukan mata itu. Rafi berbicara, “Aku pulang ya.”
Aku menjawabnya dengan senyum – tulus.

Nothing seems interesting when it belongs to you, only when it doesn't. (Natalie Babbitt)

2 comments:

  1. Pagi Raya, Aku tahu rasanya... sakit tapi tak bisa menangis...

    Berusaha menerima dan mengerti akan keadaan yang rasanya pahit, tapi punya kekuatan hati yang bahkan tak bisa dihalangi apapun untuk meraih keinginan dan mimpi.

    Jangan bersedih Raya... - Yakinlah untuk terus bermimpi

    ReplyDelete