09 January 2009

20 Something Syndrome

Beberapa kali gw bercakap-cakap dengan beberapa teman perempuan, yang kurang lebih sebaya dan yang bikin gw heran adalah: Apakah para perempuan di usia 22-23 ngga punya bahasan lain kecuali laki-laki dan pernikahan. Jujur aja, gw terlibat dan ngga diem dalam percakapan-percakapan tersebut, tapi SUMPAH gw eneg! This world is coming to an end dan masih banyak hal lain yang bisa dipercakapkan selain kawin! Buset dah, mungkin ini sindrom baru lulus kuliah dan mau lulus kuliah! Atau sindrom umur dua puluhan?

Dua minggu terakhir ini, gw dihujani dengan pertanyaan tentang pacar, tentang calon istri calon suami, calon menantu, calon mertua, rencana nikah, dst. Jujur, kalo bisa gw pengen loncatin fase nikah tapi langsung berkeluarga, bisa ga? Bisa dooong... (begging mode ON) LOL. Akhirnya gw empet dan ngga sengaja membentak temen terakhir yang curcol tentang dream wedding and dream groom-to-be nya. And this thing officialy reached its climax when an old friend of mine called me and say: Geb, bantuin bikin undangan, souvenir, dan packaging nya buat wedding gw donk!

Gw pengen tidur dulu ahhhh, sampe ketemu di umur 30.

Mau tidak mau, fase ini harus dihadapi walau menakutkan :( Waktu itu, gw ditanya sama Astrid – mau menikah umur berapa. Lalu gw berpikir lama, dan Elsa nyeletuk: Gaby ngga mau nikah tapi maunya kumpul kebo! Daaar! Elsa, sebenarnya dalam hati gw bertanya-tanya kenapa lo tau gw pengen samen leven aja LOL. Seriussss... Gw hanya berpikir bahwa pernikahan sudah ngga cocok untuk era seperti ini. Pernikahan yang seharusnya jadi urusan antara dua orang dan Tuhan (dengan pendeta atau ulama atau pemuka agama lain sebagai perantara), sudah semakin dicampuri tetek bengek komoditi budaya sekarang, yang pasti berubah dari tahun ke tahun. Jadi si dua orang ini udah ngga fokus lagi dan akhirnya banyak perceraian deh. Gw ingin berkeluarga tapi ngga ingin menikah, gw ingin menikah kalau pernikahan itu jadi AJANGNYA (ajaaaaang LOL) antara gw, pasangan, dan TUHAN saja. Titik.

Tau ah, ini nih idealisme anak ingusan 22 tahun yang disebut anak perawan oleh orang-orang tua.

Budaya dan gaya hidup yang sudah jadi bagian dari pernikahan lah yang menjadikan marriage doesnt fit this era anymore. Ini murni pendapat gw lo, setiap orang berhak punya pendapat yang berbeda, Tetetk bengek pernikahan yang kemudian jadi lebih penting membuat kebanyakan orang melupakan esensi pernikahan itu sendiri. Fatalnya kalau si kedua mempelai yang lupa. Padahal pernikahan hanyalah sarana untuk mengukuhkan hubungan antara dua orang. Jadi yang penting hanyalah dua orang itu (dan kerabat TER dekat – kompromi nih gw). Soul connection mereka adalah yang terpenting, dan pasti setiap pasangan punya cara yang berbeda dalam mendefinisikan hubungan mereka.

Jadi bingung. Kebanyakan perempuan pasti pengen keamanan lahir batin dari pasangannya, sebuah istana kecil kata sahabat gw. Istana kecil itu cuma imaji-imaji yang terbentuk dalam pola pikir yang membuat kita menentukan patokan-patokan yang akhirnya mendatangkan kekecewaan menurut gw. Jadi gw menginginkan suatu hubungan dengan seorang pasangan, yang ketika bersama dia gw tau bahwa gw merasa punya dia SAJA sudah cukup karena kalo materi gw bisa cari sendiri. Gw kan bukan orang invalid. Masalah suami menafkahi istri hanyalah sebuah kesadaran dan tanggung jawab moral lelaki yang diwujudkan melalui bekerja dan materi – pada umumnya. Bukan berarti ngga bisa diwujudkan dalam bentuk lain. Gw cuma pengen pasangan yang bisa dijadikan partner dan teman.

Ngalor ngidul gw, masalah nikah ya gw tetep aja ngga tau.

2 comments:

  1. hehehe...
    emang umur segitu banyak dibombardir oleh soal beginian.

    Ntar kalo udah lewat (puncaknya umur 26-27-28-29), udah ga mikirin dan udah ga ditanya2 lagi.

    ReplyDelete
  2. ahahaha... dibombardir ya tan :)

    jadi pengen cepet2 26 27 28 29 ahhhh

    ReplyDelete